Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
ditanya : Banyak sekali permainan berupa gambar makhluk bernyawa yang dilukis
dengan tangan yang lebih condong digunakan untuk tujuan pengajaran seperti yang
terdapat dalam buku-buku cerita anak, apakah hal itu
diperbolehkan?
Jawaban
Jika hal itu ditujukan untuk meghibur
anak-anak, maka mereka yang memperbolehkan permainan untuk anak-anak, juga
membolehkan gambar-gambar yang seperti itu dengan catatan bahwa gambar-gambar
tersebut tidak benar-benar menyerupai makhluk ciptaan Allah seperti yang jelas
keberadaannya di hadapan saya. Ini adalah perkara yang mudah.
[Syaikh Ibn
Utsamin, Fatawa Al-Aqidah, hal. 683]
HUKUM BONEKA YANG DIANTARANYA DAPAT
BERBICARA DAN MENANGIS
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin ditanya : Ada berbagai macam bentuk boneka, diantaranya boneka yang
terbuat dari kapas, yang bentuknya seperti karung yang memiliki kepala, tangan
dan kaki, ada pula yang bentuknya sangat mirip dengan manusia, dapat berbicara,
menangis atau berjalan layaknya manusia. Apa hukum membuat atau membelikan
boneka-boneka semacam itu untuk anak-anak perempuan untuk tujuan pengajaran dan
sebagai hiburan?
Jawaban
Boneka yang bentuk dan wujudnya tidak
sempurna dan memiliki beberapa anggota tubuh dan kepala tetapi tidak jelas
bentuknya, maka hal itu jelas diperbolehkan dan boneka-boneka seperti itulah
yang dimainkan oleh Aisyah Radhiyallahu ‘anha.
Sedangkan bila boneka
tersebut memiliki bentuk yang sempurna seolah-olah engkau menyaksikan manusia,
apalagi boneka itu dapat bergerak atau dapat mengeluarkan suara, aku tidak
berani mengatakan bahwa hal itu dibolehkan, karena boneka-boneka itu secara
langsung telah menyerupai bentuk makhluk ciptaan Allah. Secara dzahir bahwa
boneka yang digunakan oleh Aisyah untuk bermain bukanlah boneka yang memiliki
bentuk dan sifat yang demikian, maka menjauhi hal–hal itu adalah lebih utama,
akan tetapi aku tidak mengatakan secara langsung bahwa hal itu adalah haram,
karena dalam masalah tersebut ada pengecualiaan bagi seorang anak kecil yang
tidak memiliki oleh orang-orang dewasa.
Anak kecil cenderung memiliki
watak suka bermain dan bersenang-senang, dan mereka tidak dibebani oleh berbagai
macam ibadah hingga kita sering berkata bahwa waktu mereka lebih banyak
digunakan untuk bermain dan bersenda gurau. Jika seseorang hendak memiliki benda
seperti ini, maka hendaklah ia melepas kepala boneka itu atau memanggangnya di
atas api hingga boneka itu menjadi lunak kemudian menghimpitnya sehingga tidak
terlihat lagi ciri-cirinya.
[Syaikh Ibn Utsamin, Fatawa Al-Aqidah, hal.
684-685]
HUKUM MEMBUAT BONEKA YANG DILAKUKAN OLEH SEORANG ANAK ATAU ORANG
DEWASA
Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya :
Apakah ada perbedaan antara seorang anak kecil yang membuat sebuah boneka untuk
bermain dengan kita yang membuatkan atau membelikan mereka
boneka?
Jawaban
Saya berpendapat bahwa pembuatan boneka yang
menyerupai makhluk Allah adalah haram, karena pembuatan itu termasuk dalam
perbuatan membuat gambar yang tidak diragukan keharamannya. Akan tetapi bila
boneka tersebut dibuat oleh golongan yang bukan muslim, maka hukum manfaatnya
sebagaimana yang telah saya sebutkan.
Tetapi daripada kita membeli
benda-benda seperti itu, sebaiknya kita membelikan mereka barang seperti sepeda,
mobil-mobilan, ayunan atau barang-barang lainnya yang tidak berwujud makhluk
bernyawa.
Adapun boneka yang terbuat dari kapas dan boneka-boneka yang
bentuknya jelas-jelas memiliki anggota tubuh, kepala dan kaki tetapi tidak
memiliki mata dan hidung, maka hal itu tidak dilarang, karena boneka itu tidak
memiliki kesurupaan dengan makhluk ciptaan Allah.
[Syaikh Ibn Utsamin,
Fatawa Al-Aqidah, hal. 675 ]
[Disalin dari buku Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah
Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia
Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Amir Hamzah dkk,
Penerbit Darul Haq]
Monday 10 December 2012
BEBERAPA KESALAHAN DALAM PENAMAAN DAN ISTILAH
Oleh
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
Kesalahan Pertama
Penisbatan isteri kepada suaminya, seperti : Suha Arafat, nisbat kepada suaminya. Ini merupakan suatu kesalahan, berdasarkan firman Allah subhanahu wa Ta’ala.
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah “[al-Ahzab : 5]
Yang benar ialah Suha bintu Fulan (nisbat kepada bapaknya)
Kesalahan Kedua
Penyebutan sesuatu tidak menggunakan nama yang sebenarnya menurut syar’i. seperti penyebutan riba bank diganti dengan faidah bank, khamr telah diberi nama dengan nama dan atau label yang banyak dan bermacam-macam, hingga ada yang menamainya minuman untuk membangkitkan semangat dan sebagainya, zina diganti dengan hubungan sex dan sebagainya.
Yang benar, seharusnya kita menyebut hal-hal tersebut berdasarkan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala namakan. Karena dalam penamaan (yang Allah berikan tersebut) terdapat banyak faidah. Di antaranya, agar manusia mengetahui apa-apa yang telah diharamkan Allah, baik nama ataupun sifatnya. Sehingga mereka menjauhinya, setelah mengetahui bahaya dan ancaman siksa (bagi yang melanggar). Dan tidak timbul kesan meremehkan pada jiwa kita mengenai keharaman tersebut setelah namanya diganti.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu ; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya” [al-Baqarah : 278-279]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu dengan sebab (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” [al-Maidah : 90-91]
Kemudian firman-Nya.
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” [al-Isra : 32]
Kesalahan Ketiga
Penyebutan kata Al-Karm untuk anggur. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menyebut anggur dengan kata Al-Karm. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Janganlah kalian namakan Al-Karm, tapi namakanlah al’inab dan al-hablah” [HR Muslim]
Kata Al-Inab dan Al-Hablah memiliki makna yang sama, yakni anggur. Beliau Shallallahu alaiahi wa salam juga bersabda.
“Mereka menyebut Al-Karm, sesungguhnya Al-Karm adalah hati seorang mu’min” [HR Al-Bukhari]
Beliau melarang hal ini disebabkan lafadz Al-Karm menunjukkan akan melimpahnya kebaikan dan manfaat pada sesuatu. Dan hati seorang mukmin lebih berhak untuk itu.
Kesalahan Keempat.
Berkun-yah dengan kun-yah Abul Hakam. Karena Al-Hakim adalah Allah. Maka, tidak boleh berkun-yah dengan kun-yah tersebut. Yang benar, kita berkun-yah dengan kun-yah yang disunnahkan, seperti Abu Abdillah, Abu Abdirrahman, Abu Abdil Hakam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sesungguhnya nama yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman” [HR Muslim]
Dalam hadits Al-Miqdam bin Syuraih bin Hani, ketika ia (yakni Hani) bersama kaumnya datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mendengar mereka memberi kun-yah Abul Hakam kepadanya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya, beliau berkata.
“Sesungguhnya Allah adalah Al-Hakam dan kepadaNyalah hukum kembali, maka mengapakah engkau berkun-yah dengan Abul Hakam? Ia (Hani) berkata, “Sesungguhnya jika kaumku berselisih, mereka mendatangiku lalu kuputuskan hukum diantara mereka hingga kedua belah pihak ridha atas keputusanku”. Beliau berkata, “Alangkah baiknya perbuatanmu, apakah engkau memiliki anak?” Ia menjawab, “Aku memiliki Syuraih, Abdullah dan Muslim. Beliau bertanya lagi, “Siapakah yang paling besar diantara mereka?” Ia menjawab, “Syuraih”. Beliau berkata, “Kalau begitu, engkau Abu Syuraih” [HR An-Nasa’i]
Kesalahan Kelima
Memberi nama dengan nama yang mengandung unsur tazkiyah (penyucian diri), seperti : Barrah (orang yang banyak berbakti), Khalifatullah (Khalifah Allah), Wakilullah (Wakil Allah), dan sebagainya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memberi nama Barrah. Beliau bersabda.
“Janganlah kalian mengatakan diri kalian suci, karena Allah lebih tahu siapa yang baik diantara kalian” [HR Muslim]
Yang benar, ialah memberi nama dengan nama-nama yang disyariatkan, seperti : Zainab, Asma, Abdullah, Abdurrahman. Ataupun nama para nabi, seperti ; Yusuf, Ibrahim dan sebagainya.
Yusuf bin Abdillah bin Salam Radhiyallahu ‘anhu mengisahkan
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiahkan nama Yusuf untukku. Beliau meletakkanku di pangkuannya dan beliau mengusap kepalaku” [HR Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, hal. 248]
Juwairiyah bintu Al-Harits Al-Khuza’iyyah, dahulu bernama Barrah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merubah namanya menjadi Juwairiyah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam haditsnya yang lain, berkaitan dengan nama tazkiyah.
“Janganlah engkau namakan putramu dengan Rabah, Yasar, Aflah dan Nafi’” [HR Muslim]
Demikian juga dengan nama Kalifatullah ataupun Wakilullah. Arti kata al-wakil adalah seseorang yang bertindak mewakili pihak yang mewakilkan. Sedangkan Allah tidak ada wakil bagi-Nya, dan tidak ada yang bisa menggantikanNya. Bahkan Dialah yang memelihara hamba-Nya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Ya Allah, Engkau adalah teman dalam perjalanan dan pemelihara keluarga (yang kami tinggal)” [HR Muslim]
Nabi juga melarang kita menamakan diri dengan sebutan Malikul Amlak (Raja Diraja). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda.
“Nama yang paling hina disisi Allah pada hari Kiamat adalah seseorang yang menamakan diri dengan sebutan Malikul Amlak (Raja Diraja)” [HR Al-Bukhari]
Kesalahan Keenam
Memberi nama dengan nama yang buruk, seperti ; Harb (perang), Sha’b (sulit, susah), Hazan (kesedihan), Ushaiyyah (maksiat), Aashiyah (wanita yang bermaksiat), Murrah (pahit) dan yang semisal dengan itu.
Yang benar, memberi nama dengan nama yang baik, seperti : Hasan, Husain, dan yang semisalnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyukai nama yang baik. Beliau bertafaul (berharap kebaikan) dengan nama tersebut. Barangsiapa mau mendalami hadits-hadits Nabi, niscaya dia akan mendapati makna-makna nama yang berkaitan dengan sunnah. Seakan-akan nama-nama itu diambil dari sunnah-sunnah itu.
Cobalah renungi sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam berikut.
“Ghafar adalah orang yang Allah ampuni dan Aslam adalah yang Allah selamatkan, sedangkan Ushaiyyah dialah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya” [HR Al-Bukhari]
Jika anda ingin mengetahui, adakah pengaruh nama bagi pemiliknya? Maka perhatikanlah kisah Said bin Al-Musayyib berikut ini.
“Dari Ibnu Al-Musayyib, dari bapaknya, sesungguhnya bapaknya (yakni kakek Ibnu Al-Musayyib) datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya : “Siapakah namamu?”. Ia menjawab, “Hazn”. Beliau berkata, “Engkau adalah Sahl”. Ia berkata. “Aku tidak akan merubah nama pemberian bapakku”. Ibnul Musayyib berkata : “Sejak itu kesusahan senantiasa meliputi kami” [HR Al-Bukhari]
Makna kata al-Huzunah (dalam hadits diatas, -red) adalah Al-Ghilzah (kekerasan, kesusahan) Dapat pula bearti tanah yang keras atau tanah datar.
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya Nabi merubah nama ‘Aashiyah. Beliau berkata, “Kamu Jamilah”.
Ketika Al-Hasan lahir, Ali menamainya Harb. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang seraya berkata : “Perlihatkan kepadaku cucuku. Siapa nama yang kalian berikan pada cucuku?” Ali berkata, “Harb”. Beliau berkata, “Bahkan namanya adalah Hasan”[HR Ahmad]
Kesalahan Ketujuh
Sebagian orang memberikan julukan attatharruf fid din (sikap berlebih-lebihan dalam agama) kepada mereka yang memegang agama secara mutasyadid (ekstrim)
Yang benar kita sebut ghuluw fid dien (berlebih-lebihan dalam agama). Penyebutan ini pun diberikan, jika memang orang tersebut telah benar-benar keluar dari agama karena sikap ghuluwnya tadi
Ahli hadits mengatakan istilah attatharruf fid dien ini muncul pada awal-awal abad ke lima belas hijriah. Ketika itu terjadi taubat massal para pemuda muslim. Mereka berbondong-bondong kembali kepada Allah., ber-iltizam (konsisten) kepada hukum-hukum dan adab-adab Islam, serta mendakwahkannya. Sebelumnya, kondisi orang semacam ini (yang ber-iltizam kepada Islam), justru dikatakan sebagai golongan terbelakang, ta’ashub, jumud dan ejekan-ejekan lainnya. Maka ketahuilah, sesungguhnya agama Allah berada di pertengahan antara sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dan sikap meremehkan.
Para ulama Islam pada setiap masa pun senantiasa melarang sikap ghuluw dalam agama, disamping mereka juga selalu mengajak kepada taubat.
Adapun zaman sekarang, timbangan norma telah banyak diputar-balikkan. Hingga orang yang bertaubat dan kembali kepada Allah (yang nota bene hal ini merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh syari’at) justru disingkirkan, dengan alasan sikap berlebihan tadi. Maksudnya, agar orang-orang menjauhi mereka dan untuk melumpuhkan dakwah ilallah. Ini jelas pemikiran jahat Yahudi. Semoga Allah membinasakan mereka.
Namun sangat aneh dan mengherankan. Kaum muslimin menerima begitu saja pemikiran tadi. Tidakkah mereka berpikir dan menolaknya?
Kesalahan Kedelapan
Sebagian suami memanggil isterinya dengan sebutan Ummul Mu’minin. Ini jelas haram. Karena konsekwensinya panggilan tersebut ialah sang suami haruslah seorang Nabi dan isteri-isterinya adalah Ummahatul Mu’minin. Suatu kesalahan yang bisa mengakibatkan kepada kekufuran. Karena kita harus meyakini, bahwa tidak ada nabi setelah Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam
Ada juga suami yang memanggil isterinya dengan panggilan madam, suatu panggilan ala Perancis yang terlarang. Karena mengandung unsur tasyabbuh (meniru-niru) kaum kuffar.
Yang benar ialah memanggil isteri dengan nama kun-yahnya seperti Ummu Abdillah, Ummu Fulan, atau dapat juga dengan panggilan zaujati (isteriku) atau ahli (keluargaku).
Wallahul hadi ila ar-rasyad.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VI/1423H/2003M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
Kesalahan Pertama
Penisbatan isteri kepada suaminya, seperti : Suha Arafat, nisbat kepada suaminya. Ini merupakan suatu kesalahan, berdasarkan firman Allah subhanahu wa Ta’ala.
ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi Allah “[al-Ahzab : 5]
Yang benar ialah Suha bintu Fulan (nisbat kepada bapaknya)
Kesalahan Kedua
Penyebutan sesuatu tidak menggunakan nama yang sebenarnya menurut syar’i. seperti penyebutan riba bank diganti dengan faidah bank, khamr telah diberi nama dengan nama dan atau label yang banyak dan bermacam-macam, hingga ada yang menamainya minuman untuk membangkitkan semangat dan sebagainya, zina diganti dengan hubungan sex dan sebagainya.
Yang benar, seharusnya kita menyebut hal-hal tersebut berdasarkan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala namakan. Karena dalam penamaan (yang Allah berikan tersebut) terdapat banyak faidah. Di antaranya, agar manusia mengetahui apa-apa yang telah diharamkan Allah, baik nama ataupun sifatnya. Sehingga mereka menjauhinya, setelah mengetahui bahaya dan ancaman siksa (bagi yang melanggar). Dan tidak timbul kesan meremehkan pada jiwa kita mengenai keharaman tersebut setelah namanya diganti.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَذَرُوا مَا بَقِيَ مِنَ الرِّبَا إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ فَإِن لَّمْ تَفْعَلُوا فَأْذَنُوا بِحَرْبٍ مِّنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ ۖ وَإِن تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasulnya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu ; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya” [al-Baqarah : 278-279]
Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ إِنَّمَا يُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَن يُوقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَعَنِ الصَّلَاةِ ۖ فَهَلْ أَنتُم مُّنتَهُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamr, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya syaitan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian diantara kamu dengan sebab (meminum) khamr dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan shalat, maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu)” [al-Maidah : 90-91]
Kemudian firman-Nya.
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا ۖ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk” [al-Isra : 32]
Kesalahan Ketiga
Penyebutan kata Al-Karm untuk anggur. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang menyebut anggur dengan kata Al-Karm. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Janganlah kalian namakan Al-Karm, tapi namakanlah al’inab dan al-hablah” [HR Muslim]
Kata Al-Inab dan Al-Hablah memiliki makna yang sama, yakni anggur. Beliau Shallallahu alaiahi wa salam juga bersabda.
“Mereka menyebut Al-Karm, sesungguhnya Al-Karm adalah hati seorang mu’min” [HR Al-Bukhari]
Beliau melarang hal ini disebabkan lafadz Al-Karm menunjukkan akan melimpahnya kebaikan dan manfaat pada sesuatu. Dan hati seorang mukmin lebih berhak untuk itu.
Kesalahan Keempat.
Berkun-yah dengan kun-yah Abul Hakam. Karena Al-Hakim adalah Allah. Maka, tidak boleh berkun-yah dengan kun-yah tersebut. Yang benar, kita berkun-yah dengan kun-yah yang disunnahkan, seperti Abu Abdillah, Abu Abdirrahman, Abu Abdil Hakam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Sesungguhnya nama yang paling dicintai Allah adalah Abdullah dan Abdurrahman” [HR Muslim]
Dalam hadits Al-Miqdam bin Syuraih bin Hani, ketika ia (yakni Hani) bersama kaumnya datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau mendengar mereka memberi kun-yah Abul Hakam kepadanya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggilnya, beliau berkata.
“Sesungguhnya Allah adalah Al-Hakam dan kepadaNyalah hukum kembali, maka mengapakah engkau berkun-yah dengan Abul Hakam? Ia (Hani) berkata, “Sesungguhnya jika kaumku berselisih, mereka mendatangiku lalu kuputuskan hukum diantara mereka hingga kedua belah pihak ridha atas keputusanku”. Beliau berkata, “Alangkah baiknya perbuatanmu, apakah engkau memiliki anak?” Ia menjawab, “Aku memiliki Syuraih, Abdullah dan Muslim. Beliau bertanya lagi, “Siapakah yang paling besar diantara mereka?” Ia menjawab, “Syuraih”. Beliau berkata, “Kalau begitu, engkau Abu Syuraih” [HR An-Nasa’i]
Kesalahan Kelima
Memberi nama dengan nama yang mengandung unsur tazkiyah (penyucian diri), seperti : Barrah (orang yang banyak berbakti), Khalifatullah (Khalifah Allah), Wakilullah (Wakil Allah), dan sebagainya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memberi nama Barrah. Beliau bersabda.
“Janganlah kalian mengatakan diri kalian suci, karena Allah lebih tahu siapa yang baik diantara kalian” [HR Muslim]
Yang benar, ialah memberi nama dengan nama-nama yang disyariatkan, seperti : Zainab, Asma, Abdullah, Abdurrahman. Ataupun nama para nabi, seperti ; Yusuf, Ibrahim dan sebagainya.
Yusuf bin Abdillah bin Salam Radhiyallahu ‘anhu mengisahkan
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadiahkan nama Yusuf untukku. Beliau meletakkanku di pangkuannya dan beliau mengusap kepalaku” [HR Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, hal. 248]
Juwairiyah bintu Al-Harits Al-Khuza’iyyah, dahulu bernama Barrah. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam merubah namanya menjadi Juwairiyah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya.
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda dalam haditsnya yang lain, berkaitan dengan nama tazkiyah.
“Janganlah engkau namakan putramu dengan Rabah, Yasar, Aflah dan Nafi’” [HR Muslim]
Demikian juga dengan nama Kalifatullah ataupun Wakilullah. Arti kata al-wakil adalah seseorang yang bertindak mewakili pihak yang mewakilkan. Sedangkan Allah tidak ada wakil bagi-Nya, dan tidak ada yang bisa menggantikanNya. Bahkan Dialah yang memelihara hamba-Nya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
“Ya Allah, Engkau adalah teman dalam perjalanan dan pemelihara keluarga (yang kami tinggal)” [HR Muslim]
Nabi juga melarang kita menamakan diri dengan sebutan Malikul Amlak (Raja Diraja). Beliau Shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda.
“Nama yang paling hina disisi Allah pada hari Kiamat adalah seseorang yang menamakan diri dengan sebutan Malikul Amlak (Raja Diraja)” [HR Al-Bukhari]
Kesalahan Keenam
Memberi nama dengan nama yang buruk, seperti ; Harb (perang), Sha’b (sulit, susah), Hazan (kesedihan), Ushaiyyah (maksiat), Aashiyah (wanita yang bermaksiat), Murrah (pahit) dan yang semisal dengan itu.
Yang benar, memberi nama dengan nama yang baik, seperti : Hasan, Husain, dan yang semisalnya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat menyukai nama yang baik. Beliau bertafaul (berharap kebaikan) dengan nama tersebut. Barangsiapa mau mendalami hadits-hadits Nabi, niscaya dia akan mendapati makna-makna nama yang berkaitan dengan sunnah. Seakan-akan nama-nama itu diambil dari sunnah-sunnah itu.
Cobalah renungi sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa salam berikut.
“Ghafar adalah orang yang Allah ampuni dan Aslam adalah yang Allah selamatkan, sedangkan Ushaiyyah dialah yang bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya” [HR Al-Bukhari]
Jika anda ingin mengetahui, adakah pengaruh nama bagi pemiliknya? Maka perhatikanlah kisah Said bin Al-Musayyib berikut ini.
“Dari Ibnu Al-Musayyib, dari bapaknya, sesungguhnya bapaknya (yakni kakek Ibnu Al-Musayyib) datang menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bertanya : “Siapakah namamu?”. Ia menjawab, “Hazn”. Beliau berkata, “Engkau adalah Sahl”. Ia berkata. “Aku tidak akan merubah nama pemberian bapakku”. Ibnul Musayyib berkata : “Sejak itu kesusahan senantiasa meliputi kami” [HR Al-Bukhari]
Makna kata al-Huzunah (dalam hadits diatas, -red) adalah Al-Ghilzah (kekerasan, kesusahan) Dapat pula bearti tanah yang keras atau tanah datar.
Dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma, sesungguhnya Nabi merubah nama ‘Aashiyah. Beliau berkata, “Kamu Jamilah”.
Ketika Al-Hasan lahir, Ali menamainya Harb. Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang seraya berkata : “Perlihatkan kepadaku cucuku. Siapa nama yang kalian berikan pada cucuku?” Ali berkata, “Harb”. Beliau berkata, “Bahkan namanya adalah Hasan”[HR Ahmad]
Kesalahan Ketujuh
Sebagian orang memberikan julukan attatharruf fid din (sikap berlebih-lebihan dalam agama) kepada mereka yang memegang agama secara mutasyadid (ekstrim)
Yang benar kita sebut ghuluw fid dien (berlebih-lebihan dalam agama). Penyebutan ini pun diberikan, jika memang orang tersebut telah benar-benar keluar dari agama karena sikap ghuluwnya tadi
Ahli hadits mengatakan istilah attatharruf fid dien ini muncul pada awal-awal abad ke lima belas hijriah. Ketika itu terjadi taubat massal para pemuda muslim. Mereka berbondong-bondong kembali kepada Allah., ber-iltizam (konsisten) kepada hukum-hukum dan adab-adab Islam, serta mendakwahkannya. Sebelumnya, kondisi orang semacam ini (yang ber-iltizam kepada Islam), justru dikatakan sebagai golongan terbelakang, ta’ashub, jumud dan ejekan-ejekan lainnya. Maka ketahuilah, sesungguhnya agama Allah berada di pertengahan antara sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dan sikap meremehkan.
Para ulama Islam pada setiap masa pun senantiasa melarang sikap ghuluw dalam agama, disamping mereka juga selalu mengajak kepada taubat.
Adapun zaman sekarang, timbangan norma telah banyak diputar-balikkan. Hingga orang yang bertaubat dan kembali kepada Allah (yang nota bene hal ini merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh syari’at) justru disingkirkan, dengan alasan sikap berlebihan tadi. Maksudnya, agar orang-orang menjauhi mereka dan untuk melumpuhkan dakwah ilallah. Ini jelas pemikiran jahat Yahudi. Semoga Allah membinasakan mereka.
Namun sangat aneh dan mengherankan. Kaum muslimin menerima begitu saja pemikiran tadi. Tidakkah mereka berpikir dan menolaknya?
Kesalahan Kedelapan
Sebagian suami memanggil isterinya dengan sebutan Ummul Mu’minin. Ini jelas haram. Karena konsekwensinya panggilan tersebut ialah sang suami haruslah seorang Nabi dan isteri-isterinya adalah Ummahatul Mu’minin. Suatu kesalahan yang bisa mengakibatkan kepada kekufuran. Karena kita harus meyakini, bahwa tidak ada nabi setelah Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam
Ada juga suami yang memanggil isterinya dengan panggilan madam, suatu panggilan ala Perancis yang terlarang. Karena mengandung unsur tasyabbuh (meniru-niru) kaum kuffar.
Yang benar ialah memanggil isteri dengan nama kun-yahnya seperti Ummu Abdillah, Ummu Fulan, atau dapat juga dengan panggilan zaujati (isteriku) atau ahli (keluargaku).
Wallahul hadi ila ar-rasyad.
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun VI/1423H/2003M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]
Mengapa Mesti Tabayyun?
Oleh :
Ustadz Syaikh Mudrika
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian.
[al-Hujurât/49:6].
MUQADDIMAH
Kehidupan bermasyarakat tidak lekang dari isu, gosip sampai adu domba antar manusia. Keadaan ini diperkeruh oleh adanya sekelompok masyarakat menjadikan gosip dan `aib serta `aurat (kehormatan) orang lain sebagai komoditas perdagangan untuk meraup keuntungan dunia. Bahkan untuk tujuan popularitas ada yang menjual gosip yang menyangkut diri dan keluarganya.
Perilaku gosip yang telah menjadi penyakit masyarakat ini tidak disadari oleh kebanyakan pecandunya, bahwasanya menyebarluaskan gosip itu ibarat telah saling memakan daging bangkai saudaranya sendiri. Allah Ta'ala menggambarkan demikian itu ketika melarang kaum beriman saling ghibah (menggunjing), sebagaimana tersebut dalam al-Qur`ân:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Jangan pula kalian memata-matai dan saling menggunjing. Apakah di antara kalian ada yang suka menyantap daging bangkai saudaranya sendiri? Sudah barang tentu kalian jijik padanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allaah Maha menerima taubat dan Maha Penyayang. [al-Hujurât/49:12].
Dari penyakit ini, syahwat akan meluas dan berkembang penyakit lain yang tidak kalah bahayanya, di antaranya kebiasaan berbohong, memutuskan silaturrahim, melakukan hajr (memboikot, mendiamkan), at-tahazzub (kekelompokan), al-walâ` dan al-barâ` (suka dan benci) yang tidak sesuai tempatnya, bahkan sampai bisa sampai pada tahapan saling membunuh. Na'ûdzu billâhi min dzâlik.
Penyakit menggungjing ini tidak akan terobati selama Al-Qur`ân hanya diperlakukan sebagai sekedar ilmu pengetahuan yang dibaca dan dikhutbahkan di mimbar- mimbar, dan tidak menjadikannya sebagai terapi. Padahal Allah Ta`ala berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Dan kami turunkan Al-Qur`ân sebagai obat dan rahmah bagi kaum beriman. [al-Isrâ`/17:82].
Allah Ta`ala juga berfirman:
إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
Sesungguhnya Al-Qur`ân ini membimbing ke jalan yang paling lurus. [al-Isrâ`/17:9]
Terapi dari Al-Qur`ân dengan satu kata inti, yaitu tabayyun. Allah Ta'ala telah menyebutkannya dalam surat al-Hujurât/49 ayat 6 ini, dan insyaa Allaah, akan dilakukan pembahasan yang ditinjau dari tiga sisi. Wallâhul- Muwaffiq.
SABABUN- NUZÛL
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr menyatakan, ayat ini dilatarbelakangi oleh suatu kasus sebagaimana diriwayatkan dari banyak jalur. Yang terbaik, ialah dari Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dari jalur kepala suku Banil-Mushthaliq, yaitu al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i, ayah dari Juwairiyah bintil-Hârits Ummil-Mu`minîn Radhiyallahu anhuma.
Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata : “Kami diberithu oleh Muhammad ibnu Sâbiq, beliau berkata : aku diberithu 'Îsâ ibnu Dînâr, beliau berkata : aku diberithu oleh ayahku, bahwa beliau mendengar langsung penuturan al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i Radhiyallahu anhu :
Al-Hârits mengatakan: “Aku mendatangi Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau mengajakku ke dalam Islam, akupun menyetujuinya. Aku katakan: 'Wahai, Rasûlullâh. Aku akan pulang untuk mengajak mereka berislam, juga berzakat. Siapa yang menerima, aku kumpulkan zakatnya, dan silahkan kirim utusan kepadaku pada saat ini dan itu, agar membawa zakat yang telah kukumpulkan itu kepadamu'.”
Setelah ia mengumpulkan zakat tersebut dari orang yang menerima dakwahnya, dan sampailah pula pada tempo yang diinginkan Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ternyata utusan tersebut menahan diri dan tidak datang. Sementara itu al-Hârits mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya marah, maka ia pun segera mengumpulkan kaumnya yang kaya dan mengumumkan: “Dulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menentukan waktu untuk memerintahkan utusannya agar mengambil zakat yang ada padaku, sedangkan menyelisihi janji bukanlah kebiasaan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin utusannya ditahan, kecuali karena adanya kemarahan Allah dan Rasûl-Nya. Maka dari itu, mari kita mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Sebenarnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah kepada al-Hârits untuk mengambil zakat tersebut, tetapi di tengah jalan, al-Walîd ketakutan, sehingga ia pun kembalilah kepada Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari mengatakan: “Wahai, Rasûlallâh! Al-Hârits menolak menyerahkan zakatnya, bahkan hendak membunuhku," maka marahlah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengutus pasukan kepada al-Hârits. Sementara itu, al-Hârits telah berangkat bersama kaumnya.
Tatkala pasukan berangkat dan meninggalkan Madinah, bertemulah al-Hârits dengan mereka, kemudian terjadilah dialog:
Pasukan itu berkata: “Ini dia al-Hârits”.
Setelah al-Hârits mengenali mereka, ia pun berkata: “Kepada siapa kalian diutus?"
Mereka menjawab: “Kepadamu”.
Dia bertanya: “Untuk apa?”
Mereka menjawab: “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah, dan ia melaporkan bahwa engkau menolak membayar zakat, bahkan ingin membunuhnya”.
Al-Hârits menyahut: “Tidak benar itu. Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sesungguhnya; aku tidak pernah melihatnya sama sekali, apalagi datang kepadaku”.
Setelah al-Hârits menghadap, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “(Benarkah) engkau menolak membayar zakat dan bahkan ingin membunuh utusanku?”
Al-Hârits menjawab: “Itu tidak benar. Demi Allah yang mengutusmu dengan sesungguhnya, aku tidak pernah melihatnya dan tidak pula datang kepadaku. Juga, tidaklah aku berangkat kecuali setelah nyata ketidakhadiran utusanmu. Aku justru khawatir jika ia tidak datang karena adanya kemarahan Allah dan Rasul-Nya yang lalu," maka turunlah ayat dalam surat al-Hujurât: [1]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
TAFSIR PER KALIMAT
1. يا أيّها الّذين آمنوا (wahai orang- orang yang beriman).
Ayat ini diawali dengan seruan kepada ahlul-îmân. Disamping kasus ini terjadi di antara kaum beriman seperti yang kami paparkan di atas, juga karena berkaitan dengan perintah yang tidak sah dilaksanakan kecuali oleh orang yang beriman. Ayat ini, sekaligus menunjukkan bahwa penyelewengan terhadap perintah ini dapat mengurangi kadar keimanan seseorang. Oleh karena itu, mari kita mempersiapkan telinga dan hati, seraya memohon kepada Allah agar melapangkan dada kita dengan nasihat ayat ini.
2. إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا (jika ada orang fâsiq yang datang kepadamu dengan membawa berita penting).
An-Naba`, artinya isu (kabar) penting. Adapun orang faasiq, ialah pelaku fusuuq, yaitu orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah. Setiap kemaksiatan adalah fusuuq. Karena itu, faasiq diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu fâsiq besar dan fâsiq kecil.
Fâsiq besar, identik dengan kufur besar, yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Dinyatakan oleh Allaah Ta'ala dalam banyak ayat al-Qur`ân:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Sesungguhnya orang-orang munaafik itulah orang-orang yang fâsiq. [at-Taubah/9:67].
Kita juga mengetahui, kemunafikan kaum munafikin pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering disebutkan dalam Al-Qur`ân ialah kemunafikan i'tiqâdi (besar). Begitu pula tentang Fir'aun dan para pengikutnya:
إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ
Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fâsiq. [al-Qashash/28:32].
Kefâsikan kecil, identik dengan dosa besar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Seperti berbohong, mengadu domba, memutuskan perkara tanpa melakukan tabayyun (penelitian terhadap kebenaran beritanya) terlebih dahulu. Hal ini banyak pula disebutkan Allah, di antaranya pada ayat-ayat berikut.
وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ
Dan janganlah pencatat maupun saksi (hutang-piutang) itu mencelakakan. Dan jika kalian lakukan itu, maka itu menjerumuskan kalian dalam kefasikan. [al-Baqarah/2:282].
فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
Maka barang siapa yang telah menentukan pada bulan- bulan tersebut untuk berhajji, maka janganlah rafats, jangan pula melakukan fusûq, jangan pula berdebat pada saat berhaji. [al-Baqarah/2:197].
Dalam menafsirkan kata (fusûq) dalam ayat di atas, para ulama mengatakan, yaitu perbuatan maksiat [2]. Dan kefasikan yang dilakukan oleh shahâbi (sahabat) dalam sababun-nuzûl ayat ini, yaitu kebohongannya dalam menyampaikan berita.
Imam Al-Qurthubi[3] berkata: "Al-Walîd dinyatakan fâsiq, artinya berbohong”.[4]
Sehingga, dampak dari indikasi fâsiq menunjukkan bahwa apabila kebohongan saja yang merupakan kefasikan kecil sudah mengharuskan kita mewaspadai serta perlu untuk tabayyun, maka apalagi jika perbuatan itu merupakan fâsiq besar.
3. فتبيّنوا (maka telitilah dulu).
Ada dua qirâ`ah pada kalimat ini. Jumhûr al-Qurrâ membacanya "fatabayyanû", sedangkan al-Kissâ`i dan para qurrâ` Madinah membacanya "fatatsabbatû".[5] Keduanya benar dan memiliki makna yang sama.[6]
Tentang kalimat ini, ath-Thabari memaknainya: “Endapkanlah dulu sampai kalian mengetahui kebenarannya, jangan terburu-buru menerimanya ….”[7]
Syaikh al-Jazâ`iri mengatakan, artinya, telitilah kembali sebelum kalian berkata, berbuat atau memvonis.[8]
4. أن تصيبوا قوما بجهالة (agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan).
Keterkaitan makna antara ketidaktahuan dengan kesalahan sangat erat, sehingga kata "jahâlah" dimaknai kesalahan.
Imam Al-Qurthubi mengatakan, "bi jahâlah," maksudnya ialah secara salah.[9] Adapun kesalahan yang terus dibela serta dicari-cari pembenarannya dengan berbagai dalih, maka demikian ini merupakan sifat dan kebiasaan kaum Nashara, sehingga Allah Ta'ala menyebut mereka dengan azh-zhâllîn. Yaitu orang-orang yang tersesat sebagaimana disebutkan dalam suurat al-Fâtihah.
Penjelasan dari satu pihak yang mengadu tanpa tabayyun kepada yang diadukan, dapat menyebabkan keruhnya pandangan kita terhadap seseorang yang asalnya bersih, sehingga kita berburuk sangka kepadanya, enggan bertemu dan bahkan memboikotnya, dan akibat yang ditimbulkannyapun meluas. Jika dalam perdagangan bisa menurunkan omzet, dalam pergaulan menurunkan simpati, dalam dakwah menjadikan ummat tidak mau menerima nasihat dan pelajaran yang disampaikannya, bahkan bisa sampai pada anggapan bahwa semua yang diajarkannya dianggap tidak benar. Jika demikian, maka yang mendapat kerugian ialah ummat.
5. فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (kemudian kalian menyesal atas perlakuan kalian).
Allah Ta'ala menyebutkan penyesalan ini akan menimpa seseorang yang salah dalam menjatuhkan keputusan karena memandang suatu masalah (perkara) tanpa tabayyun, dan bukan dari orang yang diisukan negatif. Karena yang memvonis ini telah berbuat zhalim. Sedangkan yang tertuduh tanpa bukti, ia berarti mazhlûm (terzhalimi). Padahal Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu anhu :
وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ
Dan hindarilah doa orang yang terzhalimi. Sesungguhnya tidak ada tabir penghalang antara doa orang yang terzhalimi dengan Allah.[10]
ANTARA KEUMUMAN LAFAZH DAN KEKHUSUSAN SEBAB DALAM AYAT INI
Merupakan kaidah pokok di kalangan ahli tafsir, bahwa:
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
(yang menjadi patokan adalah keumuman indikasi lafazhnya, bukan kekhususan sebabnya).[11]
Kaidah ini mengajarkan kepada kita, bahwa dalil-dalil yang berlatar belakang kasus tertentu, tidak hanya berlaku untuk kasus tersebut pada waktu itu saja. Tetapi juga berlaku terhadap kasus sejenis pada masa sesudahnya, bahkan kasus-kasus yang tercakup dalam keumuman lafazh tersebut. Dan tentunya, kasus yang sejenis menempati peringkat utama terhadap pemberlakuan ayat tersebut.
Oleh karena itu, dalam ayat ini terdapat dua pedoman.
1. Kasus khusus, yaitu tentang kebohongan al-Walîd dan sunnah tabayyun dari Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jika tidak melakukan tabayyun, bisa berakibat vonis murtad, peperangan dan pembunuhan.
2. Indikasi umum yang terkandung dalam dua kata bernada muthlak, yaitu "fâsiq", dan "naba`".
Fâsiq, ini berkaitan dengan kualitas pembawa berita. Dalam istilah ahli hadits disebut "rijâl" atau "sanad". Sedangkan "naba`" yang berarti masalah penting, dan dalam istilah ahli hadits disebut matan (substansi berita).
Pada poin ini, kesalahan sebagian orang ialah menyempitkan makna ayat ini dengan mengatakan, jika yang membawa isu (kabar) tersebut atau bahkan yang memberi vonis tersebut seorang ustadz, maka sudah pasti benar, karena ia (ustadz itu) orang shâlih. Sebaliknya, apabila –ternyata- vonis ustadz tersebut salah, karena berdasarkan persangkaan tanpa tabayyun, apakah kita akan menyematkan pada ustadz tersebut sebagai "fâsiq"?
Tatkala Penulis bertanya tentang hal ini kepada al-'Allâmah Syaikh 'Ali Hasan al-Halabi - hafizhahullâh- beliau menjawab dengan tegas: “Engkau perhatikan sabab nuzûl ayat tersebut. Bukankah turun berkenaan tentang shahâbi (sahabat Nabi)?"
Maksud beliau –hafizhahullâh-, bahwasanya shahâbi sudah tentu 'âdil (legitimate), bahkan ta`dîl (legitimasi) para sahabat dari Allah ialah "radhiyallâhu'anhum waradhû 'anhu". Artinya, Allah telah meridhai mereka, dan mereka pun meridhai-Nya.
Kurang legitimate apa shahâbi? Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menyuruh Khâlid ibnul-Walîd agar melakukan tabayyun atau tatsabbut (cross check), karena pengaduan al-Walîd ini akan berakibat fatal. Kasus ini lebih utama dalam penerapan ayat di atas dari pada keumuman lafazh.
Kesimpulan yang bisa diambil dari ayat ini sebagai berikut.
1. Ayat ini merupakan pelajaran adab bagi orang beriman dalam menghadapi suatu isu atau berita yang belum jelas.
2. Pelaksanaan perintah tabayyun, merupakan ibaadah yang dapat meningkatkan iman. Dan meninggalkan tabayyun dapat mengurangi iman.
3. Kewajiban tabayyun dibebankan kepada orang yang menerima kabar berita dan akan menjatuhkan vonis terhadap pihak yang tertuduh.
4. Dilanggarnya perintah tabayyun, dapat berdampat pada kerusakan hubungan pribadi dan masyarakat.
5. Penyesalan di dunia maupun akhirat akan ditimpakan kepada orang yang menerima isu negatif, menyebarkannya, serta kepada orang yang menjatuhkan vonis tanpa melakukan tabayyun terlebih dahulu.
Demikian, tafsir ringkas ini. Semoga Allah Azza wa Jalla memuliakan kita dengan hidâyatut-taufîq, sehingga kita berlapang dada dengan nasihat ini. Wa âkhiru da'wânâ, 'anil-hamdu lillâhi Rabbil 'âlamîn.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsîr al-Qur`ânil- 'Azhîm, Ibnu Katsiir, Maktabah ash-Shafâ, Kairo, Mesir, Cetakan I, Tahun 1425/2004, (7/248).
[2]. Kitâbul-Iimaan, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, hlm 278. Kitab Tauhîd, Dr. Shâlih al-Fauzân, Jilid 3, hlm. 26.
[3]. Al-Imâm Abu `Abdillâh, Muhammad ibnu Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi.
[4]. Al-Jâmi' li Ahkâmil-Qur`ân, Dârul-Kutub al-'Ilmiyyah, Beiruut, Libanon, 16/205.
[5]. Al-Jâmi' li Ahkâmil-Qur`ân, 1/ 205. Jâmi'ul-Bayân fî Ta`wîlil-Qur`ân, 11/383.
[6]. Jâmi'ul-Bayân fî Ta`wîlil-Qur`ân, 11/383.
[7]. Ibid.
[8]. Aysarut-Tafâsiir, Maktabtul-Ulûm wal-Hikam, Madinah Nabawiyyah, Cetakan ke-6, Tahun 1423 H/ 2003 M, hlm. 1259.
[9]. Jâmi'ul-Bayân fî Ta`wîlil-Qur`ân, 11/ 383.
[10]. Shahîh al-Bukhâri, al-Mazhâlim (9, 3/99).
[11]. Al-Burhân fî 'Ulûmil-Qur'ân, az-Zarkasyi, Maktabah Dârit-Turâts, Kairo, 1/32
Ustadz Syaikh Mudrika
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian.
[al-Hujurât/49:6].
MUQADDIMAH
Kehidupan bermasyarakat tidak lekang dari isu, gosip sampai adu domba antar manusia. Keadaan ini diperkeruh oleh adanya sekelompok masyarakat menjadikan gosip dan `aib serta `aurat (kehormatan) orang lain sebagai komoditas perdagangan untuk meraup keuntungan dunia. Bahkan untuk tujuan popularitas ada yang menjual gosip yang menyangkut diri dan keluarganya.
Perilaku gosip yang telah menjadi penyakit masyarakat ini tidak disadari oleh kebanyakan pecandunya, bahwasanya menyebarluaskan gosip itu ibarat telah saling memakan daging bangkai saudaranya sendiri. Allah Ta'ala menggambarkan demikian itu ketika melarang kaum beriman saling ghibah (menggunjing), sebagaimana tersebut dalam al-Qur`ân:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian prasangka adalah dosa. Jangan pula kalian memata-matai dan saling menggunjing. Apakah di antara kalian ada yang suka menyantap daging bangkai saudaranya sendiri? Sudah barang tentu kalian jijik padanya. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allaah Maha menerima taubat dan Maha Penyayang. [al-Hujurât/49:12].
Dari penyakit ini, syahwat akan meluas dan berkembang penyakit lain yang tidak kalah bahayanya, di antaranya kebiasaan berbohong, memutuskan silaturrahim, melakukan hajr (memboikot, mendiamkan), at-tahazzub (kekelompokan), al-walâ` dan al-barâ` (suka dan benci) yang tidak sesuai tempatnya, bahkan sampai bisa sampai pada tahapan saling membunuh. Na'ûdzu billâhi min dzâlik.
Penyakit menggungjing ini tidak akan terobati selama Al-Qur`ân hanya diperlakukan sebagai sekedar ilmu pengetahuan yang dibaca dan dikhutbahkan di mimbar- mimbar, dan tidak menjadikannya sebagai terapi. Padahal Allah Ta`ala berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Dan kami turunkan Al-Qur`ân sebagai obat dan rahmah bagi kaum beriman. [al-Isrâ`/17:82].
Allah Ta`ala juga berfirman:
إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ
Sesungguhnya Al-Qur`ân ini membimbing ke jalan yang paling lurus. [al-Isrâ`/17:9]
Terapi dari Al-Qur`ân dengan satu kata inti, yaitu tabayyun. Allah Ta'ala telah menyebutkannya dalam surat al-Hujurât/49 ayat 6 ini, dan insyaa Allaah, akan dilakukan pembahasan yang ditinjau dari tiga sisi. Wallâhul- Muwaffiq.
SABABUN- NUZÛL
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr menyatakan, ayat ini dilatarbelakangi oleh suatu kasus sebagaimana diriwayatkan dari banyak jalur. Yang terbaik, ialah dari Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dari jalur kepala suku Banil-Mushthaliq, yaitu al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i, ayah dari Juwairiyah bintil-Hârits Ummil-Mu`minîn Radhiyallahu anhuma.
Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata : “Kami diberithu oleh Muhammad ibnu Sâbiq, beliau berkata : aku diberithu 'Îsâ ibnu Dînâr, beliau berkata : aku diberithu oleh ayahku, bahwa beliau mendengar langsung penuturan al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i Radhiyallahu anhu :
Al-Hârits mengatakan: “Aku mendatangi Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau mengajakku ke dalam Islam, akupun menyetujuinya. Aku katakan: 'Wahai, Rasûlullâh. Aku akan pulang untuk mengajak mereka berislam, juga berzakat. Siapa yang menerima, aku kumpulkan zakatnya, dan silahkan kirim utusan kepadaku pada saat ini dan itu, agar membawa zakat yang telah kukumpulkan itu kepadamu'.”
Setelah ia mengumpulkan zakat tersebut dari orang yang menerima dakwahnya, dan sampailah pula pada tempo yang diinginkan Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ternyata utusan tersebut menahan diri dan tidak datang. Sementara itu al-Hârits mengira bahwa Allah dan Rasul-Nya marah, maka ia pun segera mengumpulkan kaumnya yang kaya dan mengumumkan: “Dulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menentukan waktu untuk memerintahkan utusannya agar mengambil zakat yang ada padaku, sedangkan menyelisihi janji bukanlah kebiasaan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tidak mungkin utusannya ditahan, kecuali karena adanya kemarahan Allah dan Rasûl-Nya. Maka dari itu, mari kita mendatangi Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
Sebenarnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah kepada al-Hârits untuk mengambil zakat tersebut, tetapi di tengah jalan, al-Walîd ketakutan, sehingga ia pun kembalilah kepada Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari mengatakan: “Wahai, Rasûlallâh! Al-Hârits menolak menyerahkan zakatnya, bahkan hendak membunuhku," maka marahlah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengutus pasukan kepada al-Hârits. Sementara itu, al-Hârits telah berangkat bersama kaumnya.
Tatkala pasukan berangkat dan meninggalkan Madinah, bertemulah al-Hârits dengan mereka, kemudian terjadilah dialog:
Pasukan itu berkata: “Ini dia al-Hârits”.
Setelah al-Hârits mengenali mereka, ia pun berkata: “Kepada siapa kalian diutus?"
Mereka menjawab: “Kepadamu”.
Dia bertanya: “Untuk apa?”
Mereka menjawab: “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah, dan ia melaporkan bahwa engkau menolak membayar zakat, bahkan ingin membunuhnya”.
Al-Hârits menyahut: “Tidak benar itu. Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sesungguhnya; aku tidak pernah melihatnya sama sekali, apalagi datang kepadaku”.
Setelah al-Hârits menghadap, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “(Benarkah) engkau menolak membayar zakat dan bahkan ingin membunuh utusanku?”
Al-Hârits menjawab: “Itu tidak benar. Demi Allah yang mengutusmu dengan sesungguhnya, aku tidak pernah melihatnya dan tidak pula datang kepadaku. Juga, tidaklah aku berangkat kecuali setelah nyata ketidakhadiran utusanmu. Aku justru khawatir jika ia tidak datang karena adanya kemarahan Allah dan Rasul-Nya yang lalu," maka turunlah ayat dalam surat al-Hujurât: [1]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
TAFSIR PER KALIMAT
1. يا أيّها الّذين آمنوا (wahai orang- orang yang beriman).
Ayat ini diawali dengan seruan kepada ahlul-îmân. Disamping kasus ini terjadi di antara kaum beriman seperti yang kami paparkan di atas, juga karena berkaitan dengan perintah yang tidak sah dilaksanakan kecuali oleh orang yang beriman. Ayat ini, sekaligus menunjukkan bahwa penyelewengan terhadap perintah ini dapat mengurangi kadar keimanan seseorang. Oleh karena itu, mari kita mempersiapkan telinga dan hati, seraya memohon kepada Allah agar melapangkan dada kita dengan nasihat ayat ini.
2. إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا (jika ada orang fâsiq yang datang kepadamu dengan membawa berita penting).
An-Naba`, artinya isu (kabar) penting. Adapun orang faasiq, ialah pelaku fusuuq, yaitu orang yang keluar dari ketaatan kepada Allah. Setiap kemaksiatan adalah fusuuq. Karena itu, faasiq diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu fâsiq besar dan fâsiq kecil.
Fâsiq besar, identik dengan kufur besar, yang mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Dinyatakan oleh Allaah Ta'ala dalam banyak ayat al-Qur`ân:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Sesungguhnya orang-orang munaafik itulah orang-orang yang fâsiq. [at-Taubah/9:67].
Kita juga mengetahui, kemunafikan kaum munafikin pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering disebutkan dalam Al-Qur`ân ialah kemunafikan i'tiqâdi (besar). Begitu pula tentang Fir'aun dan para pengikutnya:
إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ
Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fâsiq. [al-Qashash/28:32].
Kefâsikan kecil, identik dengan dosa besar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. Seperti berbohong, mengadu domba, memutuskan perkara tanpa melakukan tabayyun (penelitian terhadap kebenaran beritanya) terlebih dahulu. Hal ini banyak pula disebutkan Allah, di antaranya pada ayat-ayat berikut.
وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ
Dan janganlah pencatat maupun saksi (hutang-piutang) itu mencelakakan. Dan jika kalian lakukan itu, maka itu menjerumuskan kalian dalam kefasikan. [al-Baqarah/2:282].
فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
Maka barang siapa yang telah menentukan pada bulan- bulan tersebut untuk berhajji, maka janganlah rafats, jangan pula melakukan fusûq, jangan pula berdebat pada saat berhaji. [al-Baqarah/2:197].
Dalam menafsirkan kata (fusûq) dalam ayat di atas, para ulama mengatakan, yaitu perbuatan maksiat [2]. Dan kefasikan yang dilakukan oleh shahâbi (sahabat) dalam sababun-nuzûl ayat ini, yaitu kebohongannya dalam menyampaikan berita.
Imam Al-Qurthubi[3] berkata: "Al-Walîd dinyatakan fâsiq, artinya berbohong”.[4]
Sehingga, dampak dari indikasi fâsiq menunjukkan bahwa apabila kebohongan saja yang merupakan kefasikan kecil sudah mengharuskan kita mewaspadai serta perlu untuk tabayyun, maka apalagi jika perbuatan itu merupakan fâsiq besar.
3. فتبيّنوا (maka telitilah dulu).
Ada dua qirâ`ah pada kalimat ini. Jumhûr al-Qurrâ membacanya "fatabayyanû", sedangkan al-Kissâ`i dan para qurrâ` Madinah membacanya "fatatsabbatû".[5] Keduanya benar dan memiliki makna yang sama.[6]
Tentang kalimat ini, ath-Thabari memaknainya: “Endapkanlah dulu sampai kalian mengetahui kebenarannya, jangan terburu-buru menerimanya ….”[7]
Syaikh al-Jazâ`iri mengatakan, artinya, telitilah kembali sebelum kalian berkata, berbuat atau memvonis.[8]
4. أن تصيبوا قوما بجهالة (agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan).
Keterkaitan makna antara ketidaktahuan dengan kesalahan sangat erat, sehingga kata "jahâlah" dimaknai kesalahan.
Imam Al-Qurthubi mengatakan, "bi jahâlah," maksudnya ialah secara salah.[9] Adapun kesalahan yang terus dibela serta dicari-cari pembenarannya dengan berbagai dalih, maka demikian ini merupakan sifat dan kebiasaan kaum Nashara, sehingga Allah Ta'ala menyebut mereka dengan azh-zhâllîn. Yaitu orang-orang yang tersesat sebagaimana disebutkan dalam suurat al-Fâtihah.
Penjelasan dari satu pihak yang mengadu tanpa tabayyun kepada yang diadukan, dapat menyebabkan keruhnya pandangan kita terhadap seseorang yang asalnya bersih, sehingga kita berburuk sangka kepadanya, enggan bertemu dan bahkan memboikotnya, dan akibat yang ditimbulkannyapun meluas. Jika dalam perdagangan bisa menurunkan omzet, dalam pergaulan menurunkan simpati, dalam dakwah menjadikan ummat tidak mau menerima nasihat dan pelajaran yang disampaikannya, bahkan bisa sampai pada anggapan bahwa semua yang diajarkannya dianggap tidak benar. Jika demikian, maka yang mendapat kerugian ialah ummat.
5. فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (kemudian kalian menyesal atas perlakuan kalian).
Allah Ta'ala menyebutkan penyesalan ini akan menimpa seseorang yang salah dalam menjatuhkan keputusan karena memandang suatu masalah (perkara) tanpa tabayyun, dan bukan dari orang yang diisukan negatif. Karena yang memvonis ini telah berbuat zhalim. Sedangkan yang tertuduh tanpa bukti, ia berarti mazhlûm (terzhalimi). Padahal Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu anhu :
وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ اللهِ حِجَابٌ
Dan hindarilah doa orang yang terzhalimi. Sesungguhnya tidak ada tabir penghalang antara doa orang yang terzhalimi dengan Allah.[10]
ANTARA KEUMUMAN LAFAZH DAN KEKHUSUSAN SEBAB DALAM AYAT INI
Merupakan kaidah pokok di kalangan ahli tafsir, bahwa:
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
(yang menjadi patokan adalah keumuman indikasi lafazhnya, bukan kekhususan sebabnya).[11]
Kaidah ini mengajarkan kepada kita, bahwa dalil-dalil yang berlatar belakang kasus tertentu, tidak hanya berlaku untuk kasus tersebut pada waktu itu saja. Tetapi juga berlaku terhadap kasus sejenis pada masa sesudahnya, bahkan kasus-kasus yang tercakup dalam keumuman lafazh tersebut. Dan tentunya, kasus yang sejenis menempati peringkat utama terhadap pemberlakuan ayat tersebut.
Oleh karena itu, dalam ayat ini terdapat dua pedoman.
1. Kasus khusus, yaitu tentang kebohongan al-Walîd dan sunnah tabayyun dari Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jika tidak melakukan tabayyun, bisa berakibat vonis murtad, peperangan dan pembunuhan.
2. Indikasi umum yang terkandung dalam dua kata bernada muthlak, yaitu "fâsiq", dan "naba`".
Fâsiq, ini berkaitan dengan kualitas pembawa berita. Dalam istilah ahli hadits disebut "rijâl" atau "sanad". Sedangkan "naba`" yang berarti masalah penting, dan dalam istilah ahli hadits disebut matan (substansi berita).
Pada poin ini, kesalahan sebagian orang ialah menyempitkan makna ayat ini dengan mengatakan, jika yang membawa isu (kabar) tersebut atau bahkan yang memberi vonis tersebut seorang ustadz, maka sudah pasti benar, karena ia (ustadz itu) orang shâlih. Sebaliknya, apabila –ternyata- vonis ustadz tersebut salah, karena berdasarkan persangkaan tanpa tabayyun, apakah kita akan menyematkan pada ustadz tersebut sebagai "fâsiq"?
Tatkala Penulis bertanya tentang hal ini kepada al-'Allâmah Syaikh 'Ali Hasan al-Halabi - hafizhahullâh- beliau menjawab dengan tegas: “Engkau perhatikan sabab nuzûl ayat tersebut. Bukankah turun berkenaan tentang shahâbi (sahabat Nabi)?"
Maksud beliau –hafizhahullâh-, bahwasanya shahâbi sudah tentu 'âdil (legitimate), bahkan ta`dîl (legitimasi) para sahabat dari Allah ialah "radhiyallâhu'anhum waradhû 'anhu". Artinya, Allah telah meridhai mereka, dan mereka pun meridhai-Nya.
Kurang legitimate apa shahâbi? Tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menyuruh Khâlid ibnul-Walîd agar melakukan tabayyun atau tatsabbut (cross check), karena pengaduan al-Walîd ini akan berakibat fatal. Kasus ini lebih utama dalam penerapan ayat di atas dari pada keumuman lafazh.
Kesimpulan yang bisa diambil dari ayat ini sebagai berikut.
1. Ayat ini merupakan pelajaran adab bagi orang beriman dalam menghadapi suatu isu atau berita yang belum jelas.
2. Pelaksanaan perintah tabayyun, merupakan ibaadah yang dapat meningkatkan iman. Dan meninggalkan tabayyun dapat mengurangi iman.
3. Kewajiban tabayyun dibebankan kepada orang yang menerima kabar berita dan akan menjatuhkan vonis terhadap pihak yang tertuduh.
4. Dilanggarnya perintah tabayyun, dapat berdampat pada kerusakan hubungan pribadi dan masyarakat.
5. Penyesalan di dunia maupun akhirat akan ditimpakan kepada orang yang menerima isu negatif, menyebarkannya, serta kepada orang yang menjatuhkan vonis tanpa melakukan tabayyun terlebih dahulu.
Demikian, tafsir ringkas ini. Semoga Allah Azza wa Jalla memuliakan kita dengan hidâyatut-taufîq, sehingga kita berlapang dada dengan nasihat ini. Wa âkhiru da'wânâ, 'anil-hamdu lillâhi Rabbil 'âlamîn.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsîr al-Qur`ânil- 'Azhîm, Ibnu Katsiir, Maktabah ash-Shafâ, Kairo, Mesir, Cetakan I, Tahun 1425/2004, (7/248).
[2]. Kitâbul-Iimaan, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, hlm 278. Kitab Tauhîd, Dr. Shâlih al-Fauzân, Jilid 3, hlm. 26.
[3]. Al-Imâm Abu `Abdillâh, Muhammad ibnu Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi.
[4]. Al-Jâmi' li Ahkâmil-Qur`ân, Dârul-Kutub al-'Ilmiyyah, Beiruut, Libanon, 16/205.
[5]. Al-Jâmi' li Ahkâmil-Qur`ân, 1/ 205. Jâmi'ul-Bayân fî Ta`wîlil-Qur`ân, 11/383.
[6]. Jâmi'ul-Bayân fî Ta`wîlil-Qur`ân, 11/383.
[7]. Ibid.
[8]. Aysarut-Tafâsiir, Maktabtul-Ulûm wal-Hikam, Madinah Nabawiyyah, Cetakan ke-6, Tahun 1423 H/ 2003 M, hlm. 1259.
[9]. Jâmi'ul-Bayân fî Ta`wîlil-Qur`ân, 11/ 383.
[10]. Shahîh al-Bukhâri, al-Mazhâlim (9, 3/99).
[11]. Al-Burhân fî 'Ulûmil-Qur'ân, az-Zarkasyi, Maktabah Dârit-Turâts, Kairo, 1/32
Manakah Waktu Yang Paling Afdhal Untuk Melaksanakan Shalat
Oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Pertanyaan. Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : "Manakah waktu yang paling afdhal untuk melaksanakan shalat ? Apakah shalat diawal waktu itu lebih afdhal ? Jawaban. Melaksanakan shalat sesuai dengan waktu yang ditentukan oleh syar'i adalah lebih sempurna oleh karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda ketika menjawab pertanyaan yang dilontarkan kepadanya : ' Amalan apakah yang paling dicintai Allah ? Beliau menjawab : Shalat tepat pada waktunya' [1] Beliau tidak menjawab (shalat pada awal waktu) dikarenakan shalat lima waktu ada sunnah untuk didahulukan pelaksanaannya dan ada yang sunnah untuk diakhirkan. Misalnya shalat isya', sunnah untuk mengakhirkan pelaksanaannya sampai sepertiga malam, maka apabila seorang wanita bertanya mana yang lebih afdhal bagi saya, saya shalat isya' ketika adzan isya' atau mengakhirkan shalat isya' sepertiga malam ? Jawabannya : Yang lebih afdhal kalau dia mengakhirkan shalat isya' sampai sepertiga malam, karena pada suatu malam Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya' sehingga para shahabat berkata : 'Wahai Rasulullah, para wanita dan anak-anak telah tidur, lalu beliau keluar dan shalat bersama mereka kemudian bersabda : Sesungguhnya inilah waktu yang paling tepat (untuk shalat isya') kalaulah tidak memberatkan umatku'. [2] Demikian pula dianjurkan bagi para laki-laki muslimin yaitu laki-laki yang mengalami kesulitan di saat bepergian mereka berkata : Kami akhirkan shalat atau kami dahulukan ? Kita jawab : Yang lebih afdhal hendaknya mereka mengakhirkan. Demikian pula kalau sekelompok orang mengadakan piknik dan waktu isya' telah tiba, maka yang lebih afdhal melaksanakan shalat isya' pada waktunya atau mengakhrikannya ? Kita menjawab : 'Yang paling afdhal hendaklah mereka mengakhirkan shalat isya' kecuali kalau mengakhirkannya mendapat kesulitan, maka shalat subuh, dhuhur, ashar, maghrib, hendaknya dikerjakan pada waktunya kecuali ada sebab-sebab tertentu. Adapun shalat fardhu selain shalat isya' dilaksanakan pada waktunya lebih utama kecuali ada sebab-sebab tertentu untuk mengakhirkannya. Adapun sebab-sebab tertentu antara lain. Apabila cuaca terlalu panas maka yang paling afdhal mengakhirkan shalat dhuhur pada saat cuaca dingin, yaitu mendekati waktu shalat ashar, maka apabila cuaca terasa panas yang afdhal shalat pada cuaca dingin, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : 'Apabila cuaca sangat panas maka carilah waktu yang dingin untuk shalat, karena hawa panas itu berasal dari hembusan neraka jahannam' [3] Adapun Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada saat safar, Bilal berdiri untuk adzan maka Rasulullah bersabda : 'Carilah waktu dingin [4]. Kemudian Bilal berdiri lagi untuk adzan, Rasulullah mengizinkannya. Seorang yang mendapatkan shalat berjama'ah diakhir waktu sedangkan diawal waktu tidak ada jama'ah, maka mengakhirkan shalat lebih afdhal, seperti seseorang yang telah tiba waktu shalat sedangkan ia berada di daratan, ia mengetahui akan sampai ke satu desa dan mendapatkan shalat berjama'ah di akhir waktu, maka manakah yang lebih afdhal ia mendirikan shalat ketika waktu shalat tiba atau mengakhirkannya sehingga ia shalat secara berjama'ah ? Kita katakan :'Sesungguhnya yang lebih afdhal mengakhirkan shalat sehingga mendapatkan shalat secara berjama'ah, yang kami maksudkan mengakhirkan di sini demi hanya untuk mendapatkan shalat berjama'ah. [Disalin dari buku Majmu' Arkanil Islam, edisi Indonesia Majmu Fatawa Solusi Problematika Umat Islam Seputar Akidah dan Ibadah, Bab Ibadah, hal. 333-335 Pustaka Arafah] _________ Foote Note. [1] Hadits Riwayat Bukhari, Kitabul Mawaqit, bab, Fadhul Shalat Liwaktiha, dan Muslim. Kitabul Al-Iman, bab Launul Iman billahi Ta'ala afdahl Al-Amal. [2] Hadits Riwayat Muslim. Kitabul Masyajidi, bab Waktul isya' wa takhiruka. [3] Hadits Riwayat Bukhari, Kitabul Mawaqiti Shalat, bab Al-Ibrad bi dhuhri fi siddatil harri, dan Muslim, Kitabul Masajid, bab Istihbab Al-Ibrad di dhuhuri. [4] Hadits Riwayat Bukhari, Kitabul Mawaqiti Shalat, bab Al-Ibrad bi dhuhuri fi safar, dan Muslim. Kitabul Masajidi, bab Istihbab Al-Ibrad bi dhuhuri fi siddatil harri |
Wajib atas setiap muslim untuk menerapkan hukum Allah dalam segala aspek kehidupannya sesuai dengan kemampuannya
Kewajiban setiap muslim adalah
beramal sesuai dengan kemampuannya, Allah tidak membebani seseorang kecuali
sesuai kesanggupannya. Menegakkan tauhid dan ibadah yang benar tidak mesti
disertai dengan menegakkan daulah Islamiyah di negeri-negeri yang tidak berhukum
dengan apa-apa yang Allah turunkan, karena hukum Allah yang pertama kali wajib
ditegakkan adalah menegakkan tauhid. Dan tidak diragukan lagi, ada
perkara-perkara khusus yang terjadi pada sebagian masa, yaitu uzlah
(mengasingkan diri) lebih baik daripada bercampur-baur, sehingga seorang muslim
mengasingkan diri di suatu lembah atau tempat terpencil, dan dia beribadah
kepada Rabbnya, selamat dari kejahatan manusia kepadanya dan dari kejahatan
dirinya kepada manusia. Perkara ini terdapat dalam hadits-hadits yang sangat
banyak, meskipun hukum asalnya seperti terdapat dalam hadits ibnu Umar
Radhiyallahu 'anhuma:
"Orang mukmin yang bergaul dengan manusia dan sabar terhadap
kejahatan mereka lebih baik daripada orang mukmin yang tidak bergaul dengan
manusia dan tidak sabar terhadap kejahatan mereka".[1]
Maka, daulah Islamiyah -tidak
diragukan- sebagai sarana untuk menegakkan hukum Allah di bumi, dan bukan
tujuan.
Dan termasuk hal yang mengherankan
telah menimpa kepada sebagian da'i yaitu: Mereka memberikan perhatian kepada
perkara-perkara yang tidak mampu dilaksanakan dan meninggalkan kewajiban yang
mudah bagi mereka untuk melaksanakannya!! Yaitu dengan berjihad melawan hawa
nafsu mereka sebagaimana yang dikatakan oleh seorang da'i muslim yang memberi
wasiat kepada para pengikutnya dengan ucapannya :
"Tegakkanlah daulah Islam dalam
diri-diri kalian, niscaya akan tegak daulah Islam itu di bumi
kalian".
Meskipun bersamaan dengan itu,
kami mendapati kebanyakan dari pengikutnya menyelisihi wasiat itu, mereka
menjadikan puncak da'wah mereka adalah mengesakan Allah 'Azza wa Jalla dalam hal
hukum, dan mereka mengistilahkan hal itu dengan istilah yang terkenal:
"Al-Hakimiyah untuk Allah". Tidak ragu bahwa hukum adalah milik Allah semata,
tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal itu atau dalam hal lainnya. Akan tetapi
sebagian mereka termasuk orang yang taklid kepada madzhab di antara
madzhab-madzhab yang empat pada saat ini, kemudian ketika didatangkan kepadanya
As-Sunnah yang jelas dan shahih, dia berkata: "Ini menyalahi madzhabku!". Maka
dimanakah kebenaran berhukum dengan apa-apa yang Allah turunkan dalam hal
mengikuti sunnah?!. Dan di antara mereka didapati termasuk orang-orang yang
beribadah kepada Allah mengikuti tarikat-tarikat shufiyah!. Maka dimanakah
kebenaran berhukum dengan apa-apa yang Allah turunkan dalam hal tauhid?!
Sehingga mereka menuntut dari orang lain apa-apa yang tidak mereka tuntut dari
diri mereka sendiri.
Sesungguhnya termasuk hal yang
sangat mudah sekali bagi kamu adalah menerapkan hukum dengan apa-apa yang Allah
turunkan dalam hal aqidah, ibadah dan akhlak dalam hal mendidik anak-anakmu di
rumah, dalam hal jual belimu, sementara itu termasuk hal yang sangat sulit
sekali adalah engkau memaksakan atau menyingkirkan penguasa yang dalam
kebanyakan hukum-hukumnya berhukum dengan selain apa-apa yang Allah turunkan.
Maka mengapa engkau meninggalkan hal yang mudah dan mengerjakan hal yang
sulit?
Hal ini menunjukkan kepada salah
satu di antara dua kemungkinan, kemungkinan pertama buruknya pendidikan dan
bimbingan, kemungkinan kedua disebabkan buruknya aqidah yang mendorong mereka
sehingga lebih memperhatikan apa-apa yang mereka tidak sanggup untuk
merealisasikannya daripada memperhatikan apa-apa yang masih dalam batas
kesanggupan mereka.
Pada saat ini, saya tidak melihat
kecuali menyibukkan diri untuk mengadakan tashfiyah dan tarbiyah serta
menda'wahi manusia kepada aqidah dan ibadah yang benar. Semuanya itu sesuai
dengan batas kemampuannya masing-masing. Allah tidak membebani seseorang kecuali
sesuai dengan kesanggupannya.
Alhamdulillah Rabbil 'alamin,
Shalawat dan salam atas Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam dan
keluarganya.
[1] Hadits Shahih diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (2507),
Ibnu Majah (4032), Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad (388), Ahmad (5/365), dari
hadits syaikh di antara para sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah
(939)
Siapa yang berhak berpolitik?, Dan kapan?
Kami memulai dengan aqidah, yang
kedua ibadah, kemudian akhlak, dengan mengadakan pemurnian dan pendidikan,
kemudian akan datang suatu hari dimana kita pasti masuk dalam fase politik
secara syar'i, karena berpolitik berarti mengatur urusan-urusan umat. Dan yang
mengatur urusan-urusan umat? Bukanlah Zaid, Bakar, ataupun Umar, yang mendirikan
kelompok atau memimpin gerakan atau suatu jama'ah!! Bahkan urusan ini khusus
bagi Ulil Amri yang dibaiat di hadapan kaum muslimin. Dia (ulil amri) lah yang
diwajibkan mengetahui politik dan mengaturnya. Apabila kaum muslimin tidak
bersatu -seperti keadaan kita saat ini- maka setiap ulil amri hanya berkuasa dan
memikirkan sebatas wilayah kekuasaannya saja.
Adapun menyibukkan diri dalam
urusan-urusan (politik) maka seandainya pun kita benar-benar mengetahui
urusan-urusan tersebut, pengetahuan kita itu tidak memberi manfaat kepada kita,
karena kita tidak memiliki keputusan dan wewenang untuk mengatur umat. Satu hal
ini pun sudah cukup menjadikan usaha kita sia-sia.
Kami akan memberikan suatu contoh:
Peperangan yang terjadi melawan kaum muslimin pada kebanyakan negeri-negeri
Islam. Apakah bermanfaat jika kita menyulut semangat kaum muslimin untuk
menghadapi orang kafir padahal kita tidak memiliki "jihad wajib" yang diatur
oleh imam yang bertanggung jawab yang telah dibaiat ?! Tidak ada gunanya
perbuatan tersebut. Kami tidak berkata bahwa menolong orang-orang yang tertindas
itu tidak wajib, akan tetapi kami mengatakan bahwa menyibukkan diri dengan
politik bukan sekarang waktunya. Oleh karena itu, wajib atas kita untuk mengajak
kaum muslimin kepada dakwah, untuk memahamkan mereka kepada Islam yang benar dan
mendidik mereka dengan tarbiyah yang benar.
Adapun menyibukkan mereka dengan
urusan-urusan emosional yang menyentil semangat, maka hal itu termasuk dalam
hal-hal yang dapat memalingkan mereka dari kemantapan dalam memahami da'wah yang
wajib ditegakkan oleh setiap muslim mukallaf, seperti memperbaiki aqidah,
ibadah, dan akhlak. Dan hal itu termasuk fardhu 'ain yang tidak bisa dimaklumi
orang yang melalaikannya. Sedangkan urusan-urusan lain yang dinamakan pada saat
ini dengan "fiqhul waqi" dan sibuk dengan urusan politik yang merupakan tanggung
jawab ahlul halli wal aqdi, yang dengan kekuasaan mereka, mereka bisa mengambil
manfaat dari hal yang demikian secara praktek. Adapun sebagian orang yang tidak
memiliki kekuasaan, maka mengetahui politik dan menyibukkan mayoritas manusia
dengan sesuatu yang penting daripada sesuatu yang lebih penting adalah termasuk
sebagai hal-hal yang memalingkan mereka dari pengetahuan yang
benar!
Dan inilah yang kami rasakan
sesungguhnya pada kebanyakan dari manhaj kelompok-kelompok dan jama'ah-jama'ah
Islam pada saat ini. Dimana kami mengetahui bahwa sebagian mereka berpaling dari
mengajari pemuda-pemuda muslim yang berkumpul disekitar da'i itu untuk belajar
memahami aqidah, ibadah dan akhlak yang benar. Karena sebagian para da'i itu
sibuk dengan urusan politik dan masuk ke parlemen-parlemen yang berhukum dengan
selain apa-apa yang Allah turunkan!! Sehingga hal itu memalingkan mereka dari
hal yang lebih penting dan mereka sibuk dengan hal-hal yang tidak penting dalam
kondisi seperti sekarang ini.
Adapun tentang apa-apa yang
termuat dalam pertanyaan yaitu tentang bagaimana seorang muslim berlepas diri
dari dosa (tanggung jawab) atau bagaimana seorang muslim berperan serta dalam
mengubah kenyataan yang pahit ini, maka kami katakan: Setiap muslim berkewajiban
berbuat sesuai dengan kemampuannya masing-masing, seorang ulama mempunyai
kewajiban yang berbeda dengan yang bukan ulama. Dan sebagaimana yang saya
sebutkan dalam kesempatan seperti ini bahwa sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla
telah menyempurnakan nikmat-Nya dengan kitab-Nya, dan dia menjadikan Al-Qur'an
sebagai undang-undang bagi kaum mukminin. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala:
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
"Maka tanyakanlah olehmu kepada
orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahuinya". [Al-Anbiya :
7]
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
menjadikan masyarakat Islam menjadi dua bagian yaitu orang yang berilmu dan yang
bukan berilmu (awam). Dan Allah mewajibkan kepada masing-masing di antara
keduanya apa-apa yang tidak Allah wajibkan kepada yang lainnya. Maka kewajiban
atas orang-orang yang bukan ulama adalah hendaknya mereka bertanya kepada ahli
ilmu. Dan kewajiban atas para ulama adalah hendaknya menjawab apa-apa yang
ditanyakan kepada mereka. Maka kewajiban-kewajiban berdasarkan pijakan ini
adalah berbeda-beda sesuai dengan perbedaan individu itu sendiri. Seorang yang
berilmu pada saat ini kewajibannya adalah berda'wah mengajak kepada da'wah yang
hak sesuai dengan batas kemampuannya. Dan orang yang bukan berilmu kewajibannya
adalah bertanya tentang apa-apa yang penting bagi dirinya atau bagi orang-orang
yang berada dibawah kepemimpinannya seperti istri, anak atau semisalnya.
Sehingga apabila seorang muslim dari masing-masing bagian ini menegakkan
kewajibannya sesuai dengan kemampuannya, maka dia telah selamat, karena Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
"Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya". [Al-Baqarah : 286]
Kami -dengan sangat prihatin-
hidup ditengah-tengah penderitaan dan kejadian-kejadian tragis yang menimpa kaum
muslimin yang tidak ada bandingannya dalam sejarah, yaitu berkumpul dan
bersatunya orang-orang kafir memusuhi kaum muslimin, sebagaimana yang
dikhabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti dalam hadits
beliau yang dikenal dan shahih:
"Telah berkumpul umat-umat untuk
menghadapi kalian, sebagaimana orang-orang yang makan berkumpul menghadapi
piringnya'. Mereka berkata: Apakah pada saat itu kami sedikit wahai Rasulullah?
Beliau menjawab: 'Tidak, pada saat itu kalian banyak, tetapi kalian seperti buih
di lautan, dan Allah akan menghilangkan rasa takut dari dada-dada musuh kepada
kalian, dan Allah akan menimpakan pada hati kalian penyakit Al-Wahn'. Mereka
berkata: Apakah penyakit Al-Wahn itu wahai Rasulullah?. Beliau menjawab: 'Cinta
dunia dan takut akan mati". [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Abu Daud (4297),
Ahmad (5/287), dari hadits Tsaubah Radhiyallahu anhu, dan dishahihkan oleh
Al-Albani dengan dua jalannya tersebut dalam As-Shahihah
(958)]
Kalau begitu, maka wajib atas para
ulama untuk berjihad dengan melakukan tashfiyah dan tarbiyah dengan cara
mengajari kaum muslimin tauhid yang benar dan keyakinan-keyakinan yang benar
serta ibadah-ubadah dan akhlak. Semuanya itu sesuai dengan kemampuannya
masing-masing di negeri-negeri yang dia tempati, karena mereka tidak mampu
menegakkan jihad menghadapi Yahudi dalam satu shaf (barisan) selama mereka
keadaannya seperti keadaan kita pada saat ini, saling berpecah-belah, tidak
berkumpul/bersatu dalam satu negeri maupun satu shaf (barisan), sehingga mereka
tidak mampu menegakkan jihad dalam arti perang fisik untuk menghadapi
musuh-musuh yang berkumpul/bersatu memusuhi mereka. Akan tetapi kewajiban mereka
adalah hendaknya mereka memanfaatkan semua sarana syar'i yang memungkinkan untuk
dilakukan, karena kita tidak memiliki kemampuan materi, dan seandainya kita
mampu pun, kita tidak mampu bergerak, karena terdapat pemerintahan, pemimpin dan
penguasa-penguasa dalam kebanyakan negeri-negeri kaum muslimin menjalankan
politik yang tidak sesuai dengan politik syar'i, sangat disesalkan sekali. Akan
tetapi kita mampu merealisasikan -dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala- dua
perkara agung yang saya sebutkan tadi, yaitu tasfiyah (pemurnian) dan tarbiyah
(pendidikan). Dan ketika para da'i muslim menegakkan kewajiban yang sangat
penting ini di negeri yang menjalankan politiknya tidak sesuai dengan politik
syar'i, dan mereka bersatu di atas asas ini (tasfiyah dan tarbiyah), maka saya
yakin pada suatu hari akan terjadi apa yang Allah katakan :
وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ - بِنَصْرِ اللَّهِ
"Dan di hari itu bergembiralah
orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah". [Ar-Ruum :
4-5]
Asas Perubahan Kepada Perbaikan Adalah Manhaj Tashfiyah Dan Tarbiyah
Oleh karena itu, kami selalu
mendengungkan setiap saat dan selalu memfokuskan pada seputar dua point mendasar
yang merupakan kaidah perubahan yang benar. Keduanya adalah Tashfiyah
(pemurnian) dan Tarbiyah (pendidikan), kedua hal ini mesti berjalan bersama-sama
sekaligus, yaitu tashfiyah dan tarbiyah.
Jika dalam suatu negeri terdapat
suatu jenis dari tashfiyah, yaitu tashfiyah dalam hal aqidah, maka hal ini
termasuk peristiwa yang sangat besar yang terjadi dalam masyarakat Islam yang
merupakan bagian bangsa di antara bangsa-bangsa lain.
Adapun dalam hal ibadah, maka
perlu membebaskan ibadah itu dari fanatik madzhab yang sempit dan berusaha
kembali kepada sunnah yang shahih. Kadang-kadang terdapat ulama besar yang
memahami Islam dengan pemahaman yang shahih dari segala sisi, tetapi saya tidak
yakin bahwa ada satu, dua, tiga, sepuluh atau dua puluh orang saja mampu
menegakkan kewajiban mengadakan tashfiyah (pemurnian) Islam dari setiap apa yang
masuk ke dalamnya, baik dalam hal aqidah, ibadah atau akhlak.
Sesungguhnya orang yang sedikit
tidak akan mampu menunaikan kewajiban ini, yaitu kewajiban mengadakan tashfiyah
(pemurnian) dari apa-apa yang melekat dengan Islam berupa hal-hal yang masuk ke
dalam Islam (padahal sebenarnya bukan dari Islam) serta kita harus mendidik
orang-orang di sekitar kita dengan tarbiyah (pendidikan) yang benar dan lurus,
akan tetapi tashfiyah dan tarbiyah sekarang ini telah hilang.
Oleh karena itu, gerakan politik
di masyarakat Islam manapun yang tidak berhukum dengan syari'at (Islam) akan
menghasilkan dampak yang buruk sebelum kita merealisasikan dua masalah penting
ini.
Adapun nasehat itu dapat
menggantikan posisi gerakan politik di negeri manapun yang berhukum dengan
syari'at, dengan cara musyawarah atau menyampaikan nasehat dengan cara yang
lebih baik sesuai dengan batasan-batasan syar'i yang jauh dari bahasa pemaksaan
atau pendiskriminatifan. Menyampaikan nasehat itu akan menegakkan hujjah dan
membebaskan kita dari dosa.Dan termasuk sebagai nasehat adalah kita menyibukkan
manusia dengan apa-apa yang bermanfaat bagi mereka, dengan memperbaiki aqidah,
ibadah, akhlak dan muamalah.
Sebagian mereka menduga bahwa kami
ingin merealisasikan tarbiyah dan tashfiyah pada masyarakat Islam seluruhnya.
Hal ini tidak pernah kami pikirkan dan impikan dalam tidur, karena
merealisasikan hal itu adalah mustahil, dan karena Allah 'Azza wa Jalla
berfirman dalam Al-Qur'an Karim.
وَلَوْ شَاء رَبُّكَ لَجَعَلَ النَّاسَ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلاَ
يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ
"Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu
Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih
pendapat". [Huud : 118]
Firman Allah ini tidak akan
terealisasi pada mereka kecuali apabila mereka memahami Islam dengan pemahaman
yang benar dan mendidik diri mereka serta keluarga mereka dengan dan orang-orang
disekitar mereka, di atas Islam yang benar ini
Da'wah Mengajak Kepada Aqidah Yang Shahih Membutuhkan Usaha Yang Sungguh-Sungguh Dan Berkelanjutan
Da'wah mengajak kepada tauhid dan
menetapkan tauhid di dalam hati manusia mengharuskan kita tidak membiarkan
melewati ayat-ayat tanpa perincian sebagaimana pada masa-masa awal. Demikian itu
karena, yang pertama mereka memahami ungkapan-ungkapan bahasa Arab dengan mudah,
dan yang kedua karena ketika itu tidak ada penyimpangan dalam hal aqidah yang
muncul dari ilmu filsafat dan ilmu kalam yang bertentangan dengan aqidah yang
lurus. Kondisi kita pada saat ini berbeda dengan kondisi kaum muslimin pada
masa-masa awal. Maka tidak boleh kita menganggap bahwa da'wah mengajak kepada
aqidah yang benar pada masa ini adalah mudah seperti keadaan masa-masa awal. Dan
saya ingin mendekatkan hal ini dengan satu contoh yang dalam contoh ini dua
orang tidak saling berselisih -Insya Allah- yaitu :
Diantara kemudahan yang dikenal
ketika itu adalah bahwa para sahabat mendengar hadits dari Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam secara langsung, kemudian para tabi'in mendengar
hadits dari para sahabat secara langsung, demikianlah kami mendapati pada tiga
generasi yang dipersaksikan memiliki kebaikan. Dan kami bertanya: Apakah ketika
itu di sana terdapat suatu ilmu yang disebut dengan ilmu hadits? Jawabannya
"tidak". Dan apakah ketika itu disana terdapat ilmu yang disebut ilmu Jarh wa
ta'dil? Jawabannya "tidak". Adapun sekarang, seseorang penuntut ilmu mesti
memiliki kedua ilmu ini, kedua ilmu ini termasuk fardhu kifayah. Hal itu agar
seorang 'alim pada saat ini mampu mengetahui suatu hadits apakah shahih atau
dhaif.
Maka urusannya tidaklah dianggap
mudah sebagaimana urusan ini mudah bagi para sahabat, karena para sahabat
mengambil hadits dari sahabat lainnya yang mereka itu telah dijamin dengan
persaksian Allah 'Azza wa Jalla atas mereka hingga masa akhir. Maka apa-apa yang
ketika itu mudah, tidaklah mudah pada masa saat ini dari sisi kejernihan ilmu
dan kepercayaan sumber pengambilan ilmu. Oleh karena itu, harus ada perhatian
yang serius terhadap masalah ini sebagaimana mestinya berupa apa-apa yang sesuai
dengan berbagai problem yang mengitari kita sebagai kaum muslimin sekarang ini
dimana problem ini tidak dimiliki oleh kaum muslimin generasi awal dari sisi
kekotoran aqidah yang menyebabkan (terjadinya) problema-problema dan menimbulkan
syubhat-syubhat dari ahli-hali bid'ah yang menyimpang dari aqidah yang shahih
dan manhaj yang benar dengan nama yang bermacam-macam, diantaranya adalah seruan
untuk mengikuti Al-Qur'an dan As-Sunnah menurut pemikiran mereka, sebagaimana
diakui oleh orang-orang yang menisbahkan (diri) kepada ilmu
kalam.
Dan ada baiknya di sini kami
menyebutkan sebagian apa-apa yang terdapat dalam hadits shahih tentang hal ini,
diantaranya adalah bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau
menyebutkan tentang ghuraba' (orang-orang yang asing) pada sebagian
hadist-hadits tersebut, beliau bersabda :
"Bagi satu orang di antara mereka lima puluh pahala" Mereka (para
sahabat) berkata (50 pahala) dari kami atau dari mereka ya, Rasulullah? Beliau
menjawab : "Dari kalian".[1]
Dan ini termasuk dari hasil
keterasingan yang sangat bagi Islam pada saat ini dimana keterasingan seperti
itu tidak terjadi pada masa-masa generasi awal. Tidak diragukan lagi, bahwa
keterasingan pada masa generasi awal adalah keterasingan antara kesyirikan yang
jelas dan tauhid yang bersih dari segala noda, antara kekufuran yang nyata dari
iman yang benar. Adapun sekarang ini problem yang terjadi adalah di antara kaum
muslimin itu sendiri, kebanyakan dari mereka tauhidnya dipenuhi dengan noda
syirik, dia memperuntukkan ibadah-ibadah kepada selain Allah dan dia mengaku
beriman.
Permasalahan ini harus mendapat
perhatian yang pertama. Dan yang kedua, tidak sepatutnya sebagian orang berkata:
"Sesungguhnya kita harus berpindah kepada tahap yang lain selain tahap tauhid,
yaitu kepada politik!!" Karena da'wah pertama dalam Islam adalah da'wah yang hak
(yaitu da'wah mengajak kepada kebenaran) maka tidak sepatutnya kita berkata:
"Kami adalah orang Arab dan Al-Qur'an turun dengan bahasa kami" Padahal perlu
diingat bahwa orang Arab pada saat ini berbeda dengan orang arab 'ajam yang
memahami bahasa mereka sendiri. Hal ini menyebabkan jauhnya mereka dari kitab
Rabb mereka dan sunnah Nabi mereka.
Taruhlah bahwa kita ini orang Arab
dan telah memahami Islam dengan pemahaman yang benar, tetapi tidak mengharuskan
kita untuk berpolitik dan menggerakkan manusia dengan gerakan-gerakan politik
serta menyibukkan mereka dengan politik, tetapi kewajiban mereka sekarang ini
adalah memahami Islam dalam hal aqidah, ibadah, muamalah, dan akhlak!! Saya
tidak yakin bahwa sekarang ini terdapat suatu bangsa yang terdiri dari jutaan
orang telah memahami Islam dengan pemahaman Islam yang benar dalam hal aqidah,
ibadah, dan akhlak, dan mereka telah terdidik atas hal
tersebut.
[1] [Hadits Shahih : Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani
dalam Mu'jam Al-Kabir (10/225) No. 10394, dari hadits Ibnu Mas'ud Radhiyallahu
'anhu. Dan hadits ini memiliki syahid dari hadits 'Uqbah bin Ghazwan salah
seorang sahabat Radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Al-Bazzar sebagaimana
dalam Al-Zaqaid (7.282). Dan hadits ini pun memiliki syahid yang lain dari
hadits Abu Tsa'labah Al-Khusyani Radhiyallahu 'anhu yang diriwayatkan oleh Abu
Daud (4341). Dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah
(494)
Penjelasan Tentang Ketidak Jelasan Aqidah Yang Benar Dan Konsekuensi Konsekuensinya Dalam Benak Kebanyakan Orang
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
"(Allah) Yang Maha Pemurah
bersemayam di atas 'Arsy". [Thaha : 5]
Irhamuu man fii al-ardhi yarhamkum
man fiis samaa-i
"Sayangilah yang di bumi, niscaya
yang dilangit akan menyayanginmu". [Hadits Shahih diriwayatkan oleh Abu Daud
(4941), dan At-Tirmidzi (1925), dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam
Ash-Shahihah (925)]
Tanpa dia mengetahui bahwa kata
"Fii" yang terdapat dalam hadits tersebut bukan berarti menunjukkan tempat
(dibawah). Hal itu seperti "Fii" yang terdapat dalam firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala :
أَأَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء
"Apakah kalian merasa aman dari
(Allah) yang di (atas) langit". [Al-Mulk : 16].
Karena "Fii" disini maknanya
adalah " 'Ala " (di atas), dan dalil tentang hal itu banyak, bahkan banyak
sekali. Di antaranya adalah hadits terdahulu yang banyak disebut oleh manusia,
dan hadits itu dengan seluruh jalannya -Alhamdulillah- shahih. Dan makna sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam: "Sayangilah yang di bumi" bukan
berarti serangga dan ulat-ulat yang ada di dalam bumi! Tetapi yang dimaksud
adalah yang berada di atas bumi, seperti manusia dan hewan. Dan hal itu sesuai
dengan sabda beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam: "maka yang di langit akan
menyayangimu" maksudnya: yang di atas langit. Orang-orang yang telah menerima
da'wah yang hak (benar) ini mesti berada di atas kejelasan tentang perincian
seperti tadi. Dan contoh lain yang mendekati hadits diatas, hadits Al-Jariyah
yang dia itu adalah pengembala kambing, hadits ini masyhur, saya akan
menyebutkannya sebagai penguat. Ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bertanya kepadanya: "Dimana Allah?" Dia menjawab: "Di langit". [Hadits Shahih
diriwayatkan oleh Muslim (537), Abu Daud (930) Nasa'i (I/14-18) dari hadits
Mu'awiyah bin Al-Hakami As-Sulami Radhiyallahu 'anhu].
Seandainya engkau pada hari ini
bertanya kepada beberapa guru besar Al-Azhar -misalnya- : "Dimana Allah?", maka
mereka akan menjawab: "Di setiap tempat!". Padahal Jariyah (budak wanita)
menjawab bahwa Allah di langit, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
membenarkan jawaban Jariyah tersebut. Mengapa? Karena Jariyah itu menjawab
berdasarkan fitrah dan dia hidup di tempat yang memungkinkan dengan istilah kita
pada masa ini untuk kita namakan dengan sebutan "lingkungan ahlus sunnah" yang
belum tercemar dengan lingkungan yang buruk, karena dia telah lulus dari
"madrasah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam" sebagaimana yang mereka
istilahkan sekarang ini.
Madrasah ini tidak khusus hanya
bagi sebagian laki-laki dan tidak pula hanya bagi sebagian wanita. Tetapi
madrasah ini untuk seluruh lapisan masyarakat yang terdiri dari laki-laki dan
wanita, oleh karena itu seorang pengembala kambing mengetahui aqidah yang benar,
karena dia tidak tercemar dengan lingkungan yang buruk. Dia mengetahui aqidah
yang benar sebagaimana terdapat dalam kitab Al-Qur'an dan As-Sunnah, padahal
kebanyakan dari orang-orang yang mengaku memiliki ilmu tentang Al-Qur'an dan
As-Sunnah tidak mengetahui hal tersebut, dia tidak mengetahui dimana Rabbnya!.
Padahal masalah tersebut disebutkan dalam Al-Qur'an dan
As-Sunnah.
Pada hari ini saya mengatakan
bahwa tidak didapati sedikit pun dari penjelasan ini di kalangan kaum muslimin,
dimana seandainya engkau bertanya -saya tidak mengatakan kepada pengembala
kambing- tetapi kepada pemimpin umat atau kelompok maka dia akan bingung ketika
menjawab sebagaimana kebanyakan manusia bingung saat ini kecuali orang-orang
yang dirahmati Allah, dan jumlah mereka itu sangat sedikit.
Kewajiban Memberikan Perhatian Kepada Aqidah Tidak Berarti Melalaikan Syariat Yang Lainnya Berupa Ibadah, Akhlak Dan Muamalah
Saya mengulangi peringatan ini
bukan bermaksud bahwa saya di dalam pembicaraan tentang penjelasan hal yang
terpenting kemudian yang penting lalu apa yang ada dibawahnya, agar para da'i
membatasi untuk semata-mata menda'wahkan kalimat thayyibah dan memahamkan
maknanya saja, namun setelah Allah menyempurnakan nikmat-Nya kepada kita dengan
menyempurnakan agama-Nya!, bahkan merupakan suatu keharusan bagi para da'i untuk
membawa Islam ini secara keseluruhan, tidak sepotong-potong.
Dan ketika saya mengatakan hal ini
setelah adanya penjelasan yang kesimpulannya adalah para da'i Islam benar-benar
memberikan perhatian kepada sesuatu yang paling penting dalam Islam, yaitu
memahamkan kaum muslimin kepada aqidah yang benar bersumber dari kalimat
thayyibah Laa ilaaha illallah, maka saya ingin membahas bahwa penjelasan
tersebut tidak berarti seorang muslim hanya semata-mata memahami makna Laa
ilaaha illallah yaitu: "Tidak ada yang diibadahi dengan hak dalam alam semesta
ini kecuali Allah saja!" Akan tetapi hal itu juga mengharuskan seorang muslim
memahami ibadah-ibadah lainnya yang sepatutnya Rabb kita diibadahi dengannya,
dan tidak memperuntukkan sedikit pun dari ibadah itu kepada seorang hamba
diantara hamba-hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala. Penjelasan tentang rincian ini
juga harus diiringi dengan makna yang ringkas dari kalimat thayyibah tersebut.
Dan ada baiknya saya akan memberikan beberapa contoh -sesuai dengan apa yang
nampak bagiku-, karena penjelasan global saja tidaklah cukup.
Saya katakan bahwa sesunguhnya
kebanyakan kaum muslimin yang bertauhid dengan benar dan orang-orang yang
memperuntukkan ibadah hanya kepada Allah 'Azza wa Jalla, hati mereka hampa dari
pemikiran dan keyakinan-keyakinan yang benar yang disebutkan dalam Al-Qur'an dan
As-Sunnah. Kebanyakan orang-orang yang bertauhid itu membaca banyak ayat dan
hadits-hadits yang berisi tentang aqidah, tetapi mereka tidak memperhatikan apa
yang tersirat di dalamnya, padahal itu termasuk dari kesempurnaan iman terhadap
Allah 'Azza wa Jalla.
Ambillah sebuah contoh aqidah
yaitu beriman terhadap ketinggian Allah 'Azza wa Jalla di atas apa-apa yang Dia
ciptakan. Berdasarkan pengalaman, saya mengetahui bahwa mayoritas dari
saudara-saudara kita yang bertauhid dan bermanhaj ahlus sunnah (mengikuti
pemahaman salafus shalih) meyakini bersama-sama kita bahwa Allah 'Azza wa Jalla
berada di atas 'Arsy dengan tanpa ta'wil (merubah arti) dan tanpa takyif
(menanyakan bagaimana). Akan tetapi ketika datang kepada mereka kaum mu'tazilah
modern atau jahmiyah modern atau orang-orang maturidi atau asy'ari yang
menyampaikan kepada mereka syubhat yang memahami berdasarakan zhahirnya saja,
dimana orang yang memberi syubhat maupun orang yang diberi syubhat tersebut
tidak memahami maknanya, maka dia menjadi bingung terhadap aqidahnya dan
tersesat jauh. Mengapa? Karena dia tidak mengambil aqidah yang benar dari segala
sisi yang telah dipaparkan penjelasannya dalam Kitabullah 'Azza wa Jalla dan
hadits Nabi kita Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika orang mu'tazilah
modern itu berkata: Allah 'Azza wa Jalla berfirman :
أَمْ أَمِنتُم مَّن فِي السَّمَاء
"Apakah kamu merasa aman terhadap
(Allah) yang di langit ?". [Al-Mulk : 17]
Dan kalian berkata sesungguhnya
Allah di langit, maka ini maknanya adalah berarti kalian menjadikan sesembahan
kalian berada pada suatu tempat yaitu langit yang merupakan mahluk
!!.
Maka dia melontarkan syubhat
kepada orang yang ada dihadapannya.
Mayoritas Kaum Muslimin Sekarang Ini Tidak Memahami Makna Laa ilaaha illallah Dengan Pemahaman Yang Baik
Mayoritas kaum
muslimin sekarang ini yang telah bersaksi Laa ilaha illallah (Tidak ada
sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah) tidak memahami makna Laa ilaha
illallah dengan baik, bahkan barangkali mereka memahami maknanya dengan
pemahaman yang terbalik sama sekali. Saya akan memberikan suatu contoh untuk hal
itu: Sebagian di antara mereka (Dia adalah Syaikh Muhammad Al-Hasyimi, salah
seorang tokoh sufi dari thariqah Asy-Syadziliyyah di Suriah kira-kira 50 tahun
yang lalu) menulis suatu risalah tentang makna Laa ilaha illallah, dan
menafsirkan dengan "Tidak ada Rabb (pencipta dan pengatur) kecuali Allah" !!
Orang-orang musyrik pun memahami maknanya seperti itu, tetapi keimanan mereka
terhadap makna tersebut tidaklah bermanfaat bagi mereka. Allah Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
وَلَئِن سَأَلْتَهُم مَّنْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
لَيَقُولُنَّ اللَّهُ
"Dan
sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: 'Siapakah yang menciptakan langit
dan bumi?' Tentu mereka akan menjawab: 'Allah'. " [Luqman :
25]
Orang-orang
musyrik itu beriman bahwa alam semesta ini memiliki Pencipta yang tidak ada
sekutu bagi-Nya, tetapi mereka menjadikan tandingan-tandingan bersama Allah dan
sekutu-sekutu dalam beribadah kepada-Nya. Mereka beriman bahwa Rabb (pengatur
dan pencipta) adalah satu (esa), tetapi mereka meyakini bahwa sesembahan itu
banyak. Oleh karena itu, Allah membantah keyakinan ini yang disebut dengan
ibadah kepada selain Allah di samping beribadah kepada Allah melalui
firman-Nya:
وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ
زُلْفَى
"Dan
orang-orang yang mengambil perlindungan selain Allah (berkata): 'Kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya'". [Az-Zumar : 3]
Kaum musyrikin
dahulu mengetahui bahwa ucapan Laa ilaha illallah mengharuskannya untuk berlepas
diri dari peribadatan kepada selain Allah 'Azza wa Jalla. Adapun mayoritas kaum
muslimin sekarang ini, menafsirkan kalimat thayyibah Laa ilaha illallah ini
dengan: "Tidak ada Rabb (pencipta dan pengatur) kecuali Allah". Padahal apabila
seorang muslim mengucapkan Laa ilaha illallah dan dia beribadah kepada selain
Allah disamping beribadah kepada Allah, maka dia dan orang-orang musyrik adalah
sama secara aqidah, meskipun secara lahiriah adalah Islam, karena dia
mengucapkan lafazh Laa ilaha illallah, sehingga dengan ungkapan ini dia adalah
seorang muslim secara lafazh dan secara lahir.
Dan ini
termasuk kewajiban kita semua sebagai da'i Islam untuk menda'wahkan tauhid dan
menegakkan hujjah kepada orang-orang yang tidak mengetahui makna Laa ilaha
illallah dimana mereka terjerumus kepada apa-apa yang menyalahi Laa ilaha
illallah. Berbeda dengan orang-orang musyrik, karena dia enggan mengucapkan Laa
ilaaha illallah, sehingga dia bukanlah seorang muslim secara lahir maupun batin.
Adapun mayoritas kaum muslimin sekarang ini, mereka orang-orang muslim, karena
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Apabila
mereka mengucapkan (Laa ilaaha illallah), maka kehormatan dan harta mereka
terjaga dariku kecuali dengan haknya, dan perhitungan mereka atas Allah
Subhanahu wa Ta'ala". [Hadits Shahih diriwayatkan oleh Al-Bukhari (25) dan pada
tempat lainnya, dan Muslim (22), dan selainnya, dari hadits Ibnu Umar
Radhiyallahu anhum]
Oleh karena
itu, saya mengatakan suatu ucapan yang jarang terlontar dariku, yaitu:
Sesungguhnya kenyataan mayoritas kaum muslimin sekarang ini adalah lebih buruk
daripada keadaan orang Arab secara umum pada masa jahiliyah yang pertama, dari
sisi kesalah-pahaman terhadap makna kalimat tahyyibah ini, karena orang-orang
musyrik Arab dahulu memahami makna Laa ilaaha illallah, tetapi mereka tidak
mengimaninya. Sedangkan mayoritas kaum muslimin sekarang ini mereka mengatakan
sesuatu yang tidak mereka yakini, mereka mengucapkan: 'Laa ilaaha illallah'
tetapi mereka tidak mengimani -dengan sebenarnya- maknanya. (Mereka menyembah
kubur, menyembelih kurban untuk selain Allah, berdo'a kepada orang-orang yang
telah mati, ini adalah kenyataan dan hakikat dari apa-apa yang diyakini oleh
orang-orang syi'ah rafidhah, shufiyah, dan para pengikut thariqah lainnya,
berhaji ke tempat pekuburan dan tempat kesyirikan dan thawaf di sekitarnya serta
beristighatsah (meminta tolong) kepada orang-orang shalih dan bersumpah dengan
(nama) orang-orang shalih adalah merupakan keyakinan-keyakinan yang mereka
pegang dengan kuat).
Oleh karena
itu, saya meyakini bahwa kewajiban pertama atas da'i kaum muslimin yang
sebenarnya adalah agar mereka menyeru seputar kalimat tauhid ini dan menjelaskan
maknanya secara ringkas. Kemudian dengan merinci konsekuensi-kosekuensi kalimat
thayyibah ini dengan mengikhlaskan ibadah dan semua macamnya untuk Allah, karena
ketika Allah Azza wa Jalla menceritakan perkataan kaum musyrikin,
yaitu:
مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ
زُلْفَى
"Kami tidak
menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan
sedekat-dekatnya". [Az-Zumar : 3]
Allah
menjadikan setiap ibadah yang ditujukan bagi selain Allah sebagai kekufuran
terhadap kalimat thayyibah Laa ilaaha illallah.
Oleh karena
itu, pada hari ini saya berkata bahwa tidak ada faedahnya sama sekali upaya
mengumpulkan dan menyatukan kaum muslimin dalam satu wadah, kemudian membiarkan
mereka dalam kesesatan mereka tanpa memahami kalimat thayyibah ini, yang
demikian ini tidak bermanfaat bagi mereka di dunia apalagi di
akhirat!.
Kami
mengetahui sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Siapa mati
dan dia bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi kecuali Allah
dengan ikhlas dari hatinya, maka Allah mengharamkan badannya dari Neraka" dalam
riwayat lain: "Maka dia akan masuk Surga". [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh
Ahmad (5/236), Ibnu Hibban (4) dalam Zawa'id dan dishahihkan oleh Al-Albani
dalam Ash-Shahihah (3355)]
Maka mungkin
saja orang yang mengucapkan kalimat thayyibah dengan ikhlas dijamin masuk Surga.
meskipun setelah mengucapkannya menerima adzab terlebih dahulu. Orang yang
meyakini keyakinan yang benar terhadap kalimat thayyibah ini, maka mungkin saja
dia diadzab berdasarkan perbuatan maksiat dan dosa yang dilakukannya, tetapi
pada akhirnya tempat kembalinya adalah Surga.
Wajib Memberikan Perhatian Kepada Tauhid Terlebih Dahulu Sebagaimana Metode Para Nabi Dan Rasul
Oleh: Syaikh Muhammad
Nashiruddin Al-Albani
Pertanyaan
:
Syaikh yang
mulia, tidak ragu lagi bahwa Anda mengetahui tentang kenyataan pahit yang
dialami umat Islam sekarang ini berupa kebodohan dalam masalah aqidah dan
masalah-masalah keyakinan lainnya, serta perpecahan dalam metodologi pemahaman
dan pengamalan Islam. Apalagi sekarang ini penyebaran da'wah Islam di berbagai
belahan bumi tidak lagi sesuai dengan aqidah dan manhaj generasi pertama yang
telah mampu melahirkan generasi terbaik.
Tidak ragu
lagi bahwa kenyataan yang menyakitkan ini telah membangkitkan ghirah (semangat)
orang-orang yang ikhlash dan berkeinginan untuk mengubahnya serta untuk
memperbaiki kerusakan. Hanya saja mereka berbeda-beda cara dalam memperbaiki
fenomena tersebut, disebabkan karena perbedaan pemahaman aqidah dan manhaj
mereka -sebagaimana yang Anda ketahui- dengan munculnya berbagai gerakan dan
jama'ah-jama'ah Islam Hizbiyyah yang mengaku telah memperbaiki umat Islam selama
berpuluh-puluh tahun, tetapi bersamaan itu mereka belum berhasil, bahkan
gerakan-gerakan tersebut menyebabkan umat terjerumus ke dalam fitnah-fitnah dan
ditimpa musibah yang besar, karena manhaj-manhaj mereka dan aqidah-qaidah mereka
menyelisihi perintah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam dan apa-apa yang dibawa
oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, dimana hal ini meninggalkan dampak
yang besar berupa kebingungan kaum muslimin dan khususnya para pemudanya dalam
solusi mengatasi kenyataan pahit ini.
Seorang da'i
muslim yang berpegang teguh dengan manhaj nubuwwah dan mengikuti jalan
orang-orang yang beriman serta mencontoh pemahaman para sahabat dan tabi'in
dengan baik dari kalangan ulama Islam merasa bahwa dia sedang memikul amanat
yang sangat besar dalam menghadapi kenyataan ini dan dalam memperbaikinya atau
ikut berperan serta dalam menyelesaikannya.
Maka apa
nasehat Anda bagi para pengikut gerakan-gerakan dan jama'ah-jama'ah tersebut?,
Dan apa solusi yang bermanfaat dan mengena dalam menyelesaikan kenyataan ini?,
Serta bagaimana seorang muslim dapat terbebas dari tanggung jawab ini di hadapan
Allah 'Azza wa Jalla nanti pada hari Kiamat?
Jawaban
:
Berkaitan
dengan apa yang disebutkan dalam pertanyaan diatas, yaitu berupa buruknya
kondisi umat Islam, maka kami katakan : Sesungguhnya kenyataan yang menyakitkan
ini tidaklah lebih buruk daripada kondisi orang Arab pada zaman jahiliyah ketika
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus kepada mereka, disebabkan adanya
risalah Islam di antara kita dan kesempurnaannya, serta adanya kelompok yang
eksis di atas Al-Haq (kebenaran), memberi petunjuk dan mengajak manusia kepada
Islam yang benar dalam hal aqidah, ibadah, akhlak dan manhaj. Memang tidak bisa
dipungkiri bahwa kenyataan orang Arab pada masa jahiliyah menyerupai kenyataan
kebanyakan kelompok-kelompok kaum muslimin sekarang ini !
Berdasarkan
hal itu, kami mengatakan bahwa: Jalan keluarnya adalah jalan keluar yang pernah
ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan obatnya adalah
seperti obat yang pernah digunakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. Sebagaimana Rasulullah telah mengobati jahiliyah yang pertama, maka para
juru da'wah Islam sekarang ini harus meluruskan kesalahan pahaman umat akan
makna Laa Ilaha Illallah, dan harus mencari jalan keluar dari kenyataan pahit
yang menimpa mereka dengan pengobatan dan jalan keluar yang di tempuh oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan makna yang demikian ini jelas
sekali apabila kita memperhatikan firman Allah 'Azza wa Jalla:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن
كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ
كَثِيراً
"Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari Kiamat dan dia banyak
menyebut Allah". [Al-Ahzab : 21].
Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah suri teladan yang baik dalam memberikan
jalan keluar bagi semua problem umat Islam di dunia modern sekarang ini pada
setiap waktu dan kondisi. Hal ini yang mengharuskan kita untuk memulai dengan
apa-apa yang telah dimulai oleh Nabi kita Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu:
pertama-tama memperbaiki apa-apa yang telah rusak dari aqidah kaum muslimin. Dan
yang kedua adalah ibadah mereka. Serta yang ketiga adalah akhlak mereka.
Bukannya yang saya maksud dari urutan ini adanya pemisahan perkara antara satu
dengan yang lainnya, artinya mendahulukan yang paling penting kemudian sebelum
yang penting, dan selanjutnya!. Tetapi yang saya kehendaki adalah agar kaum
muslimin memperhatikan dengan perhatian yang sangat besar dan serius terhadap
perkara-perkara di atas.
Dan yang saya
maksud dengan kaum muslimin adalah para juru da'wah, atau yang lebih tepatnya
adalah para ulama di kalangan mereka, karena sangat disayangkan sekali sekarang
ini setiap muslim mudah sekali mendapat predikat sebagai da'i meskipun mereka
sangat kurang dalam hal ilmu. Bahkan mereka sendiri menobatkan diri sebagai da'i
Islam. Apabila kita ingat kepada suatu kaidah yang terkenal -saya tidak berkata
kaidah itu terkenal di kalangan ulama saja, bahkan terkenal pula dikalangan
semua orang yang berakal- kaidah itu adalah:
"Orang yang tidak memiliki, tidak
dapat memberi".
Maka kita akan
mengetahui sekarang ini bahwa disana ada sekelompok kaum muslimin yang besar
sekali, bisa mencapai jutaan jumlahnya, apabila disebut kata: para da'i maka
manusia akan mengarahkan pandangan kepada mereka. Yang saya maksudkan adalah
jama'ah da'wah atau jama'ah tabligh. Bersamaan dengan itu, kebanyakan mereka
adalah sebagaimana firman Allah 'Azza wa Jalla:
وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ
"Akan tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui". [Al-A'raaf : 187].
Sebagaimana
diketahui dari metode da'wah mereka bahwa mereka itu telah benar-benar berpaling
dari memperhatikan pokok pertama atau perkara yang paling penting diantara
perkara-perkara yang disebutkan tadi, yaitu aqidah, ibadah dan akhlak. Dan
mereka menolak untuk memperbaiki aqidah dimana Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam memulai dengannya, bahkan semua nabi memulai dengan aqidah ini. Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ
اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ
"Dan
sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan):
"Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut". [An-Nahl : 36]
Mereka tidak
mempunyai perhatian terhadap pokok ini dan terhadap rukun pertama dari
rukun-rukun Islam ini -sebagaimana telah diketahui oleh kaum muslimin semuanya-.
Rasul yang pertama di antara para rasul yang mulia Nuh 'Alaihis sallam telah
mengajak kepada masalah aqidah hampir seribu tahun. Dan semua mengetahui bahwa
pada syariat-syariat terdahulu tidak terdapat perincian hukum-hukum ibadah dan
muamalah sebagaimana yang telah dikenal dalam agama kita ini, karena agama kita
ini adalah agama terakhir bagi syariat-syariat agama-agama lain. Bersamaan
dengan itu, Nabi Nuh 'Alaihis sallam tetap mengajak kaumnya selama 950 tahun dan
beliau menghabiskan waktunya bahkan seluruh perhatiannya untuk berda'wah kepada
tauhid. Meskipun demikian, kaumnya menolak da'wah beliau sebagaimana telah
dijelaskan dalam Al-Qur'an:
وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدّاً وَلَا
سُوَاعاً وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْراً
"Dan mereka
berkata: "Janganlah sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu
dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan
pula Suwaa', Yaghuts, Ya'uq dan Nasr". [Nuh : 23]
Ini
menunjukkan dengan tegas bahwa sesuatu yang paling penting untuk di prioritaskan
oleh para da'i Islam adalah da'wah kepada tauhid. Dan ini adalah makna firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala:
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
"Maka
ketahuilah, bahwa sesunguhnya tidak ada sesembahan (yang berhak diibadahi)
melainkan Allah". [Muhammad : 19]
Demikian
sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam secara amalan maupun pengajaran.
Adapun amalan beliau, maka tidak perlu dibahas, karena pada periode Makkah
perbuatan dan da'wah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kebanyakan
terbatas dalam hal menda'wahi kaumnya agar beribadah kepada Allah saja, tidak
ada sekutu bagi-Nya.
Sedangkan
dalam hal pengajaran, disebutkan dalam hadits Anas bin Malik Radhiyallahu anhu
yang diriwayatkan di dalam Ash-Shahihain. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam ketika mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda:
"Hendaknya hal
pertama yang engkau serukan kepada mereka adalah pesaksian bahwa tidak ada ilah
yang berhak diibadahi kecuali Allah saja, maka jika mereka mentaatimu dalam hal
itu… dan seterusnya sampai akhir hadits. [Hadits Shahih diriwayatkan oleh
Al-Bukhari (1395) dan ditempat lainnya, dan Muslim (19), Abu Daud (1584),
At-Tirmidzi (625), semuanya dari hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu
anhu].
Hadits ini
telah diketahui dan masyhur, Insya Allah.
Kalau begitu,
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah memerintahkan para shahabatnya
untuk memulai dengan apa yang dimulai oleh beliau sendiri yaitu da'wah kepada
tauhid.
Tidak
diragukan lagi bahwa terdapat perbedaan yang besar sekali antara orang-orang
Arab musyrikin dimana mereka itu memahami apa-apa yang dikatakan kepada mereka
dengan bahasa mereka, dengan mayoritas orang-orang Arab Muslim sekarang ini.
Orang-orang Arab Muslim sekarang ini tidak perlu diseru untuk mengucapkan: Laa
ilaha illallah, karena mereka adalah orang-orang yang telah mengucapkan syahadat
Laa ilaha illallah, meskipun aliran dan keyakinan mereka berbeda-beda. Mereka
semuanya mengucapkan Laa ilaha illallah, tetapi pada kenyataannya mereka sangat
perlu untuk memahami lebih banyak lagi tentang makna kalimat thayyibah ini. Dan
perbedaan ini adalah perbedaan yang sangat mendasar dengan orang-orang Arab
dahulu dimana mereka itu menyombongkan diri apabila Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam menyeru mereka untuk mengucapkan Laa ilaha illallah,
sebagaimana yang dijelaskan dalam Al-Qur'anul 'Azhim[1]. Mengapa mereka
menyombongkan diri? Karena mereka memahami bahwa makna Laa ilaha illallah adalah
bahwa mereka tidak boleh menjadikan tandingan-tandingan bersama Allah, dan agar
mereka tidak beribadah kecuali kepada Allah, padahal dahulu mereka menyembah
selian Allah pula, mereka menyeru selain Allah, beristighatsah (meminta tolong)
kepada selain Allah, lebih-lebih lagi dalam masalah nadzar untuk selain Allah,
bertawasul kepada selain Allah, menyembelih kurban untuk selain Allah dan
berhukum kepada selain Allah dan seterusnya.
Ini adalah
sarana-sarana kesyirikan paganisme yang dikenal dan dipraktekkan oleh mereka,
padahal mereka mengetahui bahwa diantara konsekwensi kalimat thayyibah Laa ilaha
illallah dari sisi bahasa Arab adalah bahwa mereka harus berlepas diri dari
semua perkara-perkara ini, karena bertentangan dengan makna Laa ilaha
illallah.
[1] Beliau mengisyaratkan kepada firman Allah Subhanahu
wa Ta'ala dalam surat Ash-Shaffat :
إِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا
قِيلَ لَهُمْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ يَسْتَكْبِرُونَ - وَيَقُولُونَ أَئِنَّا لَتَارِكُوا آلِهَتِنَا لِشَاعِرٍ
مَّجْنُونٍ
"Sesungguhnya mereka dahulu apabila dikatakan kepada
mereka: Laa ilaha illallah (Tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi melainkan
Allah) mereka menyombongkan diri, dan mereka berkata: 'Apakah sesungguhnya kami
harus meninggalkan sembahan-sembahan kami karena kami seorang penyair yang
gila?". [Ash-Shaffat: 35 -36].
Subscribe to:
Posts (Atom)