Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-'Utsaimin ditanya : "Ada polemik yang dirasakan sebagian manusia, yaitu
bagaimana Allah akan menyiksa karena ma'siyat, padahal telah Dia takdirkan hal
itu atas manusia ?"
Jawaban.
Sebenarnya hal ini bukanlah
polemik. Langkah manusia untuk berbuat jahat kemudian dia disiksa karenanya
bukanlah persoalan yang sulit. Karena langkah manusia pada berbuat jahat adalah
langkah yang sesuai dengan pilihannya sendiri dan tidak ada seorangpun yang
mengacungkan pedang di depannya dan mengatakan : "Lakukanlah perbuatan
munkar itu", akan tetapi dia melakukannya atas pilihannya sendiri.
Allah
telah berfirman.
"Artinya : Sesungguhnya Aku telah memberi petunjuk
kepadanya pada jalan (yang benar), maka adakalanya dia bersyukur dan adakalanya
dia kufur" [Al-Insan : 3]
Maka baik kepada mereka yang
bersyukur maupun yang kufur, Allah telah menunjukkan dan menjelaskan tentang
jalan (yang benar). Akan tetapi sebagian manusia ada yang memilih jalan tersebut
dan sebagian lagi ada yang tidak memilihnya. Penjelasan (Allah) tersebut pertama
dengan Ilzam (keharusan/kepastia logis) dan kedua dengan Bayan
(penjelasan).
Dalam hal Ilzam, maka kita
dapat mengatakan kepada seseorang : Amal duniawi dan amal ukhrawimu sebenarnya
sama dan seharusnya anda memperlakukan keduanya secara sama. Sebagai hal yang
maklum adalah apabila ditawarkan kepadamu dua pekerjaan duaniawi yang telah
direncanakan. Yang pertama kamu yakini mengandung kabaikan untuk dirimu dan
yang kedua merugikan dirimu. Maka pastilah anda akan memilih pekerjaan pertama
yang merupakan pekerjaan terbaik dari dua rencana di atas dan tidak mungkin anda
memilih pekerjaan kedua, yang merupakan pilihan terburuk lalu anda mengatakan :
"Qadar (Allah) telah menetapkan saya padanya (piliha kedua). Dengan demikian,
apa yang telah anda tetapkan dalam menempuh jalan dunia semestinya anda lakukan
dalam menempuh jalan ukhrawi. Kita dapat mengatakan : Allah telah menawarkan di
hadapanmu dua amal akhirat, yaitu amal buruk yang berupa amal-amal yang
menyalahi syara' dan amal shalih yang berupa amal-amal yang sesuai dengan
syara'. Maka apabila dalam berbagai pekerjaan duniawi anda memilih perbuatan
yang baik, mengapa anda tidak memilih amal baik dalam amal akhirat. Karena itu,
seharusnya anda memilih amal baik di dalam mencari akhirat sebagaimana anda
harus memilih pekerjaan baik dalam mencari dunia. Inilah cara Ilzam.
Adapun cara Bayan, maka kita
dapat mengatakan bahwa kita semua tidak tahu apa yang telah ditakdirkan Allah
kepada kita. Allah berfirman.
"Artinya : Setiap diri tidak mengetahui apa yang akan dia
kerjakan besok" [Luqman : 34]
Maka ketika seseorang
melakukan suatu perbuatan, berarti dia melakukannya atas pilihannya sendiri dan
bukan karena mengetahui bahwa Allah telah mentakdirkan perbuatan tersebut
kepadanya. Oleh karena itu, sebagian ulama' mengatakan : "Sesungguhnya Qadar itu
rahasia yang tertutup". Dan kita semua tidak pernah mengetahui bahwa Allah telah
mentakdirkan begitu, kecuali bila perbuatan tersebut telah terjadi. Dengan
demikian, ketika kita melakukan sesuatu perbuatan, maka bukan berarti kita
melakukannya atas dasar bahwa perbuatan tersebut telah ditetapkan bagi kita.
Akan tetapi kita melakukannya berdasarkan pilihan kita sendiri dan ketika telah
terjadi maka kita baru tahu bahwa Allah telah mentakdirkannya untuk
kita.
Oleh karena itu, manusia
tidak bisa beralasan dengan takdir kecuali setelah terjadinya perbuatan
tersebut. Disebutkan dari Amirul Mu'minin, Umar bin Kahtthab, sebuah kisah
(mungkin benar dari beliau mungkin tidak) bahwa seorang pencuri yang telah
memenuhi syarat potong tangan dilaporkan kepada beliau. Ketika Umar menyuruh
untuk memotong tangannya, dia mengatakan : "Tunggu dulu hai Amirul Mu'minin,
demi Allah aku tidak mencuri itu kecuali karena Qadar Allah". Umar mengatakan :
"Aku tidak akan memotong tanganmu kecuali karena Qadar Allah". Maka Umar
berargumentasi dengan argumentasi yang digunakan pencuri tersebut tentang kasus
pencurian terhadap harta orang-orang Islam. Padahal Umar bisa berargumentasi
dengan Qadar dan Syari'at, karena beliau diperintahkan untuk memotong tangannya.
Adapun dalam kasus tersebut, beliau berargumentasi dengan Qadar karena
argumentasi tersebut lebih tepat mengenai sasaran.
Berdasarkan hal itu, maka
seseorang tidak lagi berargumentasi dengan Qadar untuk berbuat ma'siyat kepada
Allah dan dalam kenyataannya dia memang tidak punya alasan dalam hal di atas.
Allah berfirman.
"Artinya : (Aku telah mengutus) para rasul yang membawa
berita gembira dan memberi peringatan agar manusia tidak punya
alasan/argumentasi kepada Allah setelah adanya para rasul" [An-Nisa :
165]
Sementara semua amal
manusia, setelah datangnya para rasul, tetap terjadi atas Qadar Allah. Walaupun
Qadar bisa dijadikan argumentasi akan tetapi selalu bersama-sama dengan
terutusnya para rasul selamanya. Dengan demikian jelas bahwa tidak layak berbuat
ma'siyat dengan alasan Qadha' dan Qadar Allah, karena dia tidak dipaksa untuk
melakukannya.
Semoga Allah memberi
Taufiq.
No comments:
Post a Comment