Oleh :
Ustadz Syaikh
Mudrika
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ
بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ
مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
Wahai orang- orang yang beriman, jika ada
seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka
tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya
pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal
atas perlakuan kalian.
[al-Hujurât/49:6].
MUQADDIMAH
Kehidupan
bermasyarakat tidak lekang dari isu, gosip sampai adu domba antar manusia.
Keadaan ini diperkeruh oleh adanya sekelompok masyarakat menjadikan gosip dan
`aib serta `aurat (kehormatan) orang lain sebagai komoditas perdagangan untuk
meraup keuntungan dunia. Bahkan untuk tujuan popularitas ada yang menjual gosip
yang menyangkut diri dan keluarganya.
Perilaku gosip yang telah menjadi
penyakit masyarakat ini tidak disadari oleh kebanyakan pecandunya, bahwasanya
menyebarluaskan gosip itu ibarat telah saling memakan daging bangkai saudaranya
sendiri. Allah Ta'ala menggambarkan demikian itu ketika melarang kaum beriman
saling ghibah (menggunjing), sebagaimana tersebut dalam al-Qur`ân:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ
الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَبْ بَعْضُكُمْ بَعْضًا ۚ
أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَنْ يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَحِيمٌ
Wahai orang-orang
yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena sesungguhnya sebagian
prasangka adalah dosa. Jangan pula kalian memata-matai dan saling menggunjing.
Apakah di antara kalian ada yang suka menyantap daging bangkai saudaranya
sendiri? Sudah barang tentu kalian jijik padanya. Dan bertakwalah kepada Allah,
sesungguhnya Allaah Maha menerima taubat dan Maha Penyayang.
[al-Hujurât/49:12].
Dari penyakit ini, syahwat akan meluas dan berkembang
penyakit lain yang tidak kalah bahayanya, di antaranya kebiasaan berbohong,
memutuskan silaturrahim, melakukan hajr (memboikot, mendiamkan), at-tahazzub
(kekelompokan), al-walâ` dan al-barâ` (suka dan benci) yang tidak sesuai
tempatnya, bahkan sampai bisa sampai pada tahapan saling membunuh. Na'ûdzu
billâhi min dzâlik.
Penyakit menggungjing ini tidak akan terobati selama
Al-Qur`ân hanya diperlakukan sebagai sekedar ilmu pengetahuan yang dibaca dan
dikhutbahkan di mimbar- mimbar, dan tidak menjadikannya sebagai terapi. Padahal
Allah Ta`ala berfirman:
وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ
وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِينَ
Dan kami turunkan Al-Qur`ân sebagai obat dan
rahmah bagi kaum beriman. [al-Isrâ`/17:82].
Allah Ta`ala juga
berfirman:
إِنَّ هَٰذَا الْقُرْآنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ
أَقْوَمُ
Sesungguhnya Al-Qur`ân ini membimbing ke jalan yang paling
lurus. [al-Isrâ`/17:9]
Terapi dari Al-Qur`ân dengan satu kata inti, yaitu
tabayyun. Allah Ta'ala telah menyebutkannya dalam surat al-Hujurât/49 ayat 6
ini, dan insyaa Allaah, akan dilakukan pembahasan yang ditinjau dari tiga sisi.
Wallâhul- Muwaffiq.
SABABUN- NUZÛL
Al-Hâfizh Ibnu Katsîr menyatakan,
ayat ini dilatarbelakangi oleh suatu kasus sebagaimana diriwayatkan dari banyak
jalur. Yang terbaik, ialah dari Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dari jalur kepala
suku Banil-Mushthaliq, yaitu al-Hârits ibnu Dhirâr al-Khuzâ`i, ayah dari
Juwairiyah bintil-Hârits Ummil-Mu`minîn Radhiyallahu anhuma.
Al-Imam
Ahmad rahimahullah berkata : “Kami diberithu oleh Muhammad ibnu Sâbiq, beliau
berkata : aku diberithu 'Îsâ ibnu Dînâr, beliau berkata : aku diberithu oleh
ayahku, bahwa beliau mendengar langsung penuturan al-Hârits ibnu Dhirâr
al-Khuzâ`i Radhiyallahu anhu :
Al-Hârits mengatakan: “Aku mendatangi
Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Beliau mengajakku ke dalam Islam,
akupun menyetujuinya. Aku katakan: 'Wahai, Rasûlullâh. Aku akan pulang untuk
mengajak mereka berislam, juga berzakat. Siapa yang menerima, aku kumpulkan
zakatnya, dan silahkan kirim utusan kepadaku pada saat ini dan itu, agar membawa
zakat yang telah kukumpulkan itu kepadamu'.”
Setelah ia mengumpulkan
zakat tersebut dari orang yang menerima dakwahnya, dan sampailah pula pada tempo
yang diinginkan Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ternyata utusan
tersebut menahan diri dan tidak datang. Sementara itu al-Hârits mengira bahwa
Allah dan Rasul-Nya marah, maka ia pun segera mengumpulkan kaumnya yang kaya dan
mengumumkan: “Dulu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menentukan
waktu untuk memerintahkan utusannya agar mengambil zakat yang ada padaku,
sedangkan menyelisihi janji bukanlah kebiasaan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Dan tidak mungkin utusannya ditahan, kecuali karena adanya kemarahan
Allah dan Rasûl-Nya. Maka dari itu, mari kita mendatangi Rasûlullâh Shallallahu
‘alaihi wa sallam”.
Sebenarnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah kepada al-Hârits untuk mengambil zakat
tersebut, tetapi di tengah jalan, al-Walîd ketakutan, sehingga ia pun kembalilah
kepada Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam sembari mengatakan: “Wahai,
Rasûlallâh! Al-Hârits menolak menyerahkan zakatnya, bahkan hendak membunuhku,"
maka marahlah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengutus pasukan
kepada al-Hârits. Sementara itu, al-Hârits telah berangkat bersama kaumnya.
Tatkala pasukan berangkat dan meninggalkan Madinah, bertemulah al-Hârits
dengan mereka, kemudian terjadilah dialog:
Pasukan itu berkata: “Ini dia
al-Hârits”.
Setelah al-Hârits mengenali mereka, ia pun berkata: “Kepada
siapa kalian diutus?"
Mereka menjawab: “Kepadamu”.
Dia bertanya: “Untuk
apa?”
Mereka menjawab: “Sesungguhnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pernah mengutus al-Walîd ibnu `Uqbah, dan ia melaporkan bahwa engkau
menolak membayar zakat, bahkan ingin membunuhnya”.
Al-Hârits menyahut:
“Tidak benar itu. Demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sesungguhnya;
aku tidak pernah melihatnya sama sekali, apalagi datang kepadaku”.
Setelah al-Hârits menghadap, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bertanya: “(Benarkah) engkau menolak membayar zakat dan bahkan ingin membunuh
utusanku?”
Al-Hârits menjawab: “Itu tidak benar. Demi Allah yang
mengutusmu dengan sesungguhnya, aku tidak pernah melihatnya dan tidak pula
datang kepadaku. Juga, tidaklah aku berangkat kecuali setelah nyata
ketidakhadiran utusanmu. Aku justru khawatir jika ia tidak datang karena adanya
kemarahan Allah dan Rasul-Nya yang lalu," maka turunlah ayat dalam surat
al-Hujurât: [1]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ
بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
TAFSIR PER KALIMAT
1. يا أيّها الّذين آمنوا
(wahai orang- orang yang beriman).
Ayat ini diawali dengan seruan kepada
ahlul-îmân. Disamping kasus ini terjadi di antara kaum beriman seperti yang kami
paparkan di atas, juga karena berkaitan dengan perintah yang tidak sah
dilaksanakan kecuali oleh orang yang beriman. Ayat ini, sekaligus menunjukkan
bahwa penyelewengan terhadap perintah ini dapat mengurangi kadar keimanan
seseorang. Oleh karena itu, mari kita mempersiapkan telinga dan hati, seraya
memohon kepada Allah agar melapangkan dada kita dengan nasihat ayat
ini.
2. إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا (jika ada orang
fâsiq yang datang kepadamu dengan membawa berita penting).
An-Naba`, artinya
isu (kabar) penting. Adapun orang faasiq, ialah pelaku fusuuq, yaitu orang yang
keluar dari ketaatan kepada Allah. Setiap kemaksiatan adalah fusuuq. Karena itu,
faasiq diklasifikasikan menjadi dua macam, yaitu fâsiq besar dan fâsiq
kecil.
Fâsiq besar, identik dengan kufur besar, yang mengeluarkan
pelakunya dari agama Islam. Dinyatakan oleh Allaah Ta'ala dalam banyak ayat
al-Qur`ân:
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ هُمُ الْفَاسِقُونَ
Sesungguhnya
orang-orang munaafik itulah orang-orang yang fâsiq.
[at-Taubah/9:67].
Kita juga mengetahui, kemunafikan kaum munafikin pada
zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sering disebutkan dalam Al-Qur`ân
ialah kemunafikan i'tiqâdi (besar). Begitu pula tentang Fir'aun dan para
pengikutnya:
إِنَّهُمْ كَانُوا قَوْمًا فَاسِقِينَ
Sesungguhnya
mereka adalah kaum yang fâsiq. [al-Qashash/28:32].
Kefâsikan kecil,
identik dengan dosa besar yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama Islam.
Seperti berbohong, mengadu domba, memutuskan perkara tanpa melakukan tabayyun
(penelitian terhadap kebenaran beritanya) terlebih dahulu. Hal ini banyak pula
disebutkan Allah, di antaranya pada ayat-ayat berikut.
وَلَا يُضَارَّ
كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ
Dan
janganlah pencatat maupun saksi (hutang-piutang) itu mencelakakan. Dan jika
kalian lakukan itu, maka itu menjerumuskan kalian dalam kefasikan.
[al-Baqarah/2:282].
فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا
فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
Maka barang siapa yang telah
menentukan pada bulan- bulan tersebut untuk berhajji, maka janganlah rafats,
jangan pula melakukan fusûq, jangan pula berdebat pada saat berhaji.
[al-Baqarah/2:197].
Dalam menafsirkan kata (fusûq) dalam ayat di atas,
para ulama mengatakan, yaitu perbuatan maksiat [2]. Dan kefasikan yang dilakukan
oleh shahâbi (sahabat) dalam sababun-nuzûl ayat ini, yaitu kebohongannya dalam
menyampaikan berita.
Imam Al-Qurthubi[3] berkata: "Al-Walîd dinyatakan
fâsiq, artinya berbohong”.[4]
Sehingga, dampak dari indikasi fâsiq
menunjukkan bahwa apabila kebohongan saja yang merupakan kefasikan kecil sudah
mengharuskan kita mewaspadai serta perlu untuk tabayyun, maka apalagi jika
perbuatan itu merupakan fâsiq besar.
3. فتبيّنوا (maka telitilah dulu).
Ada dua qirâ`ah pada kalimat ini. Jumhûr al-Qurrâ membacanya "fatabayyanû",
sedangkan al-Kissâ`i dan para qurrâ` Madinah membacanya "fatatsabbatû".[5]
Keduanya benar dan memiliki makna yang sama.[6]
Tentang kalimat ini,
ath-Thabari memaknainya: “Endapkanlah dulu sampai kalian mengetahui
kebenarannya, jangan terburu-buru menerimanya ….”[7]
Syaikh al-Jazâ`iri
mengatakan, artinya, telitilah kembali sebelum kalian berkata, berbuat atau
memvonis.[8]
4. أن تصيبوا قوما بجهالة (agar jangan sampai kalian
menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan).
Keterkaitan
makna antara ketidaktahuan dengan kesalahan sangat erat, sehingga kata "jahâlah"
dimaknai kesalahan.
Imam Al-Qurthubi mengatakan, "bi jahâlah," maksudnya
ialah secara salah.[9] Adapun kesalahan yang terus dibela serta dicari-cari
pembenarannya dengan berbagai dalih, maka demikian ini merupakan sifat dan
kebiasaan kaum Nashara, sehingga Allah Ta'ala menyebut mereka dengan
azh-zhâllîn. Yaitu orang-orang yang tersesat sebagaimana disebutkan dalam suurat
al-Fâtihah.
Penjelasan dari satu pihak yang mengadu tanpa tabayyun
kepada yang diadukan, dapat menyebabkan keruhnya pandangan kita terhadap
seseorang yang asalnya bersih, sehingga kita berburuk sangka kepadanya, enggan
bertemu dan bahkan memboikotnya, dan akibat yang ditimbulkannyapun meluas. Jika
dalam perdagangan bisa menurunkan omzet, dalam pergaulan menurunkan simpati,
dalam dakwah menjadikan ummat tidak mau menerima nasihat dan pelajaran yang
disampaikannya, bahkan bisa sampai pada anggapan bahwa semua yang diajarkannya
dianggap tidak benar. Jika demikian, maka yang mendapat kerugian ialah ummat.
5. فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (kemudian kalian
menyesal atas perlakuan kalian).
Allah Ta'ala menyebutkan penyesalan ini akan
menimpa seseorang yang salah dalam menjatuhkan keputusan karena memandang suatu
masalah (perkara) tanpa tabayyun, dan bukan dari orang yang diisukan negatif.
Karena yang memvonis ini telah berbuat zhalim. Sedangkan yang tertuduh tanpa
bukti, ia berarti mazhlûm (terzhalimi). Padahal Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pernah bersabda kepada Mu'adz bin Jabal Radhiyallahu anhu
:
وَاتَّقِ دَعْوَةَ الْمَظْلُوْمِ فَإِنَّهُ لَيْسَ بَيْنَهَا وَبَيْنَ
اللهِ حِجَابٌ
Dan hindarilah doa orang yang terzhalimi. Sesungguhnya
tidak ada tabir penghalang antara doa orang yang terzhalimi dengan Allah.[10]
ANTARA KEUMUMAN LAFAZH DAN KEKHUSUSAN SEBAB DALAM AYAT INI
Merupakan
kaidah pokok di kalangan ahli tafsir, bahwa:
العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص
السبب
(yang menjadi patokan adalah keumuman indikasi lafazhnya, bukan
kekhususan sebabnya).[11]
Kaidah ini mengajarkan kepada kita, bahwa
dalil-dalil yang berlatar belakang kasus tertentu, tidak hanya berlaku untuk
kasus tersebut pada waktu itu saja. Tetapi juga berlaku terhadap kasus sejenis
pada masa sesudahnya, bahkan kasus-kasus yang tercakup dalam keumuman lafazh
tersebut. Dan tentunya, kasus yang sejenis menempati peringkat utama terhadap
pemberlakuan ayat tersebut.
Oleh karena itu, dalam ayat ini terdapat dua
pedoman.
1. Kasus khusus, yaitu tentang kebohongan al-Walîd dan sunnah
tabayyun dari Rasûlillâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Jika tidak melakukan
tabayyun, bisa berakibat vonis murtad, peperangan dan pembunuhan.
2.
Indikasi umum yang terkandung dalam dua kata bernada muthlak, yaitu "fâsiq", dan
"naba`".
Fâsiq, ini berkaitan dengan kualitas pembawa berita. Dalam
istilah ahli hadits disebut "rijâl" atau "sanad". Sedangkan "naba`" yang berarti
masalah penting, dan dalam istilah ahli hadits disebut matan (substansi
berita).
Pada poin ini, kesalahan sebagian orang ialah menyempitkan makna
ayat ini dengan mengatakan, jika yang membawa isu (kabar) tersebut atau bahkan
yang memberi vonis tersebut seorang ustadz, maka sudah pasti benar, karena ia
(ustadz itu) orang shâlih. Sebaliknya, apabila –ternyata- vonis ustadz tersebut
salah, karena berdasarkan persangkaan tanpa tabayyun, apakah kita akan
menyematkan pada ustadz tersebut sebagai "fâsiq"?
Tatkala Penulis
bertanya tentang hal ini kepada al-'Allâmah Syaikh 'Ali Hasan al-Halabi -
hafizhahullâh- beliau menjawab dengan tegas: “Engkau perhatikan sabab nuzûl ayat
tersebut. Bukankah turun berkenaan tentang shahâbi (sahabat Nabi)?"
Maksud beliau –hafizhahullâh-, bahwasanya shahâbi sudah tentu 'âdil
(legitimate), bahkan ta`dîl (legitimasi) para sahabat dari Allah ialah
"radhiyallâhu'anhum waradhû 'anhu". Artinya, Allah telah meridhai mereka, dan
mereka pun meridhai-Nya.
Kurang legitimate apa shahâbi? Tetapi Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap menyuruh Khâlid ibnul-Walîd agar melakukan
tabayyun atau tatsabbut (cross check), karena pengaduan al-Walîd ini akan
berakibat fatal. Kasus ini lebih utama dalam penerapan ayat di atas dari pada
keumuman lafazh.
Kesimpulan yang bisa diambil dari ayat ini sebagai
berikut.
1. Ayat ini merupakan pelajaran adab bagi orang beriman dalam
menghadapi suatu isu atau berita yang belum jelas.
2. Pelaksanaan
perintah tabayyun, merupakan ibaadah yang dapat meningkatkan iman. Dan
meninggalkan tabayyun dapat mengurangi iman.
3. Kewajiban tabayyun
dibebankan kepada orang yang menerima kabar berita dan akan menjatuhkan vonis
terhadap pihak yang tertuduh.
4. Dilanggarnya perintah tabayyun, dapat
berdampat pada kerusakan hubungan pribadi dan masyarakat.
5. Penyesalan
di dunia maupun akhirat akan ditimpakan kepada orang yang menerima isu negatif,
menyebarkannya, serta kepada orang yang menjatuhkan vonis tanpa melakukan
tabayyun terlebih dahulu.
Demikian, tafsir ringkas ini. Semoga Allah Azza
wa Jalla memuliakan kita dengan hidâyatut-taufîq, sehingga kita berlapang dada
dengan nasihat ini. Wa âkhiru da'wânâ, 'anil-hamdu lillâhi Rabbil 'âlamîn.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun XIII/1430H/2009M.
Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton
Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax
0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsîr al-Qur`ânil- 'Azhîm, Ibnu
Katsiir, Maktabah ash-Shafâ, Kairo, Mesir, Cetakan I, Tahun 1425/2004, (7/248).
[2]. Kitâbul-Iimaan, Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah, hlm 278. Kitab Tauhîd,
Dr. Shâlih al-Fauzân, Jilid 3, hlm. 26.
[3]. Al-Imâm Abu `Abdillâh, Muhammad
ibnu Ahmad al-Anshâri al-Qurthubi.
[4]. Al-Jâmi' li Ahkâmil-Qur`ân,
Dârul-Kutub al-'Ilmiyyah, Beiruut, Libanon, 16/205.
[5]. Al-Jâmi' li
Ahkâmil-Qur`ân, 1/ 205. Jâmi'ul-Bayân fî Ta`wîlil-Qur`ân, 11/383.
[6].
Jâmi'ul-Bayân fî Ta`wîlil-Qur`ân, 11/383.
[7]. Ibid.
[8].
Aysarut-Tafâsiir, Maktabtul-Ulûm wal-Hikam, Madinah Nabawiyyah, Cetakan ke-6,
Tahun 1423 H/ 2003 M, hlm. 1259.
[9]. Jâmi'ul-Bayân fî Ta`wîlil-Qur`ân, 11/
383.
[10]. Shahîh al-Bukhâri, al-Mazhâlim (9, 3/99).
[11]. Al-Burhân fî
'Ulûmil-Qur'ân, az-Zarkasyi, Maktabah Dârit-Turâts, Kairo, 1/32
No comments:
Post a Comment