Kami memulai dengan aqidah, yang
kedua ibadah, kemudian akhlak, dengan mengadakan pemurnian dan pendidikan,
kemudian akan datang suatu hari dimana kita pasti masuk dalam fase politik
secara syar'i, karena berpolitik berarti mengatur urusan-urusan umat. Dan yang
mengatur urusan-urusan umat? Bukanlah Zaid, Bakar, ataupun Umar, yang mendirikan
kelompok atau memimpin gerakan atau suatu jama'ah!! Bahkan urusan ini khusus
bagi Ulil Amri yang dibaiat di hadapan kaum muslimin. Dia (ulil amri) lah yang
diwajibkan mengetahui politik dan mengaturnya. Apabila kaum muslimin tidak
bersatu -seperti keadaan kita saat ini- maka setiap ulil amri hanya berkuasa dan
memikirkan sebatas wilayah kekuasaannya saja.
Adapun menyibukkan diri dalam
urusan-urusan (politik) maka seandainya pun kita benar-benar mengetahui
urusan-urusan tersebut, pengetahuan kita itu tidak memberi manfaat kepada kita,
karena kita tidak memiliki keputusan dan wewenang untuk mengatur umat. Satu hal
ini pun sudah cukup menjadikan usaha kita sia-sia.
Kami akan memberikan suatu contoh:
Peperangan yang terjadi melawan kaum muslimin pada kebanyakan negeri-negeri
Islam. Apakah bermanfaat jika kita menyulut semangat kaum muslimin untuk
menghadapi orang kafir padahal kita tidak memiliki "jihad wajib" yang diatur
oleh imam yang bertanggung jawab yang telah dibaiat ?! Tidak ada gunanya
perbuatan tersebut. Kami tidak berkata bahwa menolong orang-orang yang tertindas
itu tidak wajib, akan tetapi kami mengatakan bahwa menyibukkan diri dengan
politik bukan sekarang waktunya. Oleh karena itu, wajib atas kita untuk mengajak
kaum muslimin kepada dakwah, untuk memahamkan mereka kepada Islam yang benar dan
mendidik mereka dengan tarbiyah yang benar.
Adapun menyibukkan mereka dengan
urusan-urusan emosional yang menyentil semangat, maka hal itu termasuk dalam
hal-hal yang dapat memalingkan mereka dari kemantapan dalam memahami da'wah yang
wajib ditegakkan oleh setiap muslim mukallaf, seperti memperbaiki aqidah,
ibadah, dan akhlak. Dan hal itu termasuk fardhu 'ain yang tidak bisa dimaklumi
orang yang melalaikannya. Sedangkan urusan-urusan lain yang dinamakan pada saat
ini dengan "fiqhul waqi" dan sibuk dengan urusan politik yang merupakan tanggung
jawab ahlul halli wal aqdi, yang dengan kekuasaan mereka, mereka bisa mengambil
manfaat dari hal yang demikian secara praktek. Adapun sebagian orang yang tidak
memiliki kekuasaan, maka mengetahui politik dan menyibukkan mayoritas manusia
dengan sesuatu yang penting daripada sesuatu yang lebih penting adalah termasuk
sebagai hal-hal yang memalingkan mereka dari pengetahuan yang
benar!
Dan inilah yang kami rasakan
sesungguhnya pada kebanyakan dari manhaj kelompok-kelompok dan jama'ah-jama'ah
Islam pada saat ini. Dimana kami mengetahui bahwa sebagian mereka berpaling dari
mengajari pemuda-pemuda muslim yang berkumpul disekitar da'i itu untuk belajar
memahami aqidah, ibadah dan akhlak yang benar. Karena sebagian para da'i itu
sibuk dengan urusan politik dan masuk ke parlemen-parlemen yang berhukum dengan
selain apa-apa yang Allah turunkan!! Sehingga hal itu memalingkan mereka dari
hal yang lebih penting dan mereka sibuk dengan hal-hal yang tidak penting dalam
kondisi seperti sekarang ini.
Adapun tentang apa-apa yang
termuat dalam pertanyaan yaitu tentang bagaimana seorang muslim berlepas diri
dari dosa (tanggung jawab) atau bagaimana seorang muslim berperan serta dalam
mengubah kenyataan yang pahit ini, maka kami katakan: Setiap muslim berkewajiban
berbuat sesuai dengan kemampuannya masing-masing, seorang ulama mempunyai
kewajiban yang berbeda dengan yang bukan ulama. Dan sebagaimana yang saya
sebutkan dalam kesempatan seperti ini bahwa sesungguhnya Allah 'Azza wa Jalla
telah menyempurnakan nikmat-Nya dengan kitab-Nya, dan dia menjadikan Al-Qur'an
sebagai undang-undang bagi kaum mukminin. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala:
فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
"Maka tanyakanlah olehmu kepada
orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada mengetahuinya". [Al-Anbiya :
7]
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah
menjadikan masyarakat Islam menjadi dua bagian yaitu orang yang berilmu dan yang
bukan berilmu (awam). Dan Allah mewajibkan kepada masing-masing di antara
keduanya apa-apa yang tidak Allah wajibkan kepada yang lainnya. Maka kewajiban
atas orang-orang yang bukan ulama adalah hendaknya mereka bertanya kepada ahli
ilmu. Dan kewajiban atas para ulama adalah hendaknya menjawab apa-apa yang
ditanyakan kepada mereka. Maka kewajiban-kewajiban berdasarkan pijakan ini
adalah berbeda-beda sesuai dengan perbedaan individu itu sendiri. Seorang yang
berilmu pada saat ini kewajibannya adalah berda'wah mengajak kepada da'wah yang
hak sesuai dengan batas kemampuannya. Dan orang yang bukan berilmu kewajibannya
adalah bertanya tentang apa-apa yang penting bagi dirinya atau bagi orang-orang
yang berada dibawah kepemimpinannya seperti istri, anak atau semisalnya.
Sehingga apabila seorang muslim dari masing-masing bagian ini menegakkan
kewajibannya sesuai dengan kemampuannya, maka dia telah selamat, karena Allah
Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
"Allah tidak membebani seseorang
melainkan sesuai dengan kesanggupannya". [Al-Baqarah : 286]
Kami -dengan sangat prihatin-
hidup ditengah-tengah penderitaan dan kejadian-kejadian tragis yang menimpa kaum
muslimin yang tidak ada bandingannya dalam sejarah, yaitu berkumpul dan
bersatunya orang-orang kafir memusuhi kaum muslimin, sebagaimana yang
dikhabarkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam seperti dalam hadits
beliau yang dikenal dan shahih:
"Telah berkumpul umat-umat untuk
menghadapi kalian, sebagaimana orang-orang yang makan berkumpul menghadapi
piringnya'. Mereka berkata: Apakah pada saat itu kami sedikit wahai Rasulullah?
Beliau menjawab: 'Tidak, pada saat itu kalian banyak, tetapi kalian seperti buih
di lautan, dan Allah akan menghilangkan rasa takut dari dada-dada musuh kepada
kalian, dan Allah akan menimpakan pada hati kalian penyakit Al-Wahn'. Mereka
berkata: Apakah penyakit Al-Wahn itu wahai Rasulullah?. Beliau menjawab: 'Cinta
dunia dan takut akan mati". [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Abu Daud (4297),
Ahmad (5/287), dari hadits Tsaubah Radhiyallahu anhu, dan dishahihkan oleh
Al-Albani dengan dua jalannya tersebut dalam As-Shahihah
(958)]
Kalau begitu, maka wajib atas para
ulama untuk berjihad dengan melakukan tashfiyah dan tarbiyah dengan cara
mengajari kaum muslimin tauhid yang benar dan keyakinan-keyakinan yang benar
serta ibadah-ubadah dan akhlak. Semuanya itu sesuai dengan kemampuannya
masing-masing di negeri-negeri yang dia tempati, karena mereka tidak mampu
menegakkan jihad menghadapi Yahudi dalam satu shaf (barisan) selama mereka
keadaannya seperti keadaan kita pada saat ini, saling berpecah-belah, tidak
berkumpul/bersatu dalam satu negeri maupun satu shaf (barisan), sehingga mereka
tidak mampu menegakkan jihad dalam arti perang fisik untuk menghadapi
musuh-musuh yang berkumpul/bersatu memusuhi mereka. Akan tetapi kewajiban mereka
adalah hendaknya mereka memanfaatkan semua sarana syar'i yang memungkinkan untuk
dilakukan, karena kita tidak memiliki kemampuan materi, dan seandainya kita
mampu pun, kita tidak mampu bergerak, karena terdapat pemerintahan, pemimpin dan
penguasa-penguasa dalam kebanyakan negeri-negeri kaum muslimin menjalankan
politik yang tidak sesuai dengan politik syar'i, sangat disesalkan sekali. Akan
tetapi kita mampu merealisasikan -dengan izin Allah Subhanahu wa Ta'ala- dua
perkara agung yang saya sebutkan tadi, yaitu tasfiyah (pemurnian) dan tarbiyah
(pendidikan). Dan ketika para da'i muslim menegakkan kewajiban yang sangat
penting ini di negeri yang menjalankan politiknya tidak sesuai dengan politik
syar'i, dan mereka bersatu di atas asas ini (tasfiyah dan tarbiyah), maka saya
yakin pada suatu hari akan terjadi apa yang Allah katakan :
وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ - بِنَصْرِ اللَّهِ
"Dan di hari itu bergembiralah
orang-orang yang beriman, karena pertolongan Allah". [Ar-Ruum :
4-5]
No comments:
Post a Comment